Perjalanan tanpa rencana kali ini membawa saya ke dataran tinggi Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah. Dengan menumpang mobil travel dari Yogyakarta (tarif Rp 40.000), Wonosobo bisa ditempuh dalam waktu sekitar tiga jam. Saya pergi berdua dengan seorang teman, dia adalah satu-satunya yang mengiyakan ajakan mendadak saya untuk jalan-jalan. Teman-teman lain absen tak bisa ikut. Wajar saja, saya memang baru mengajukan ajakan itu di malam sebelumnya.
Mobil travel berhenti di perempatan PDAM Wonosobo dan dari situ kami naik bus jurusan Dieng. Sebenarnya bus itu juga bisa ditemukan di terminal, hanya saja lokasi terminal lebih jauh dan biasanya harus menunggu bus ngetem dan akan memakan waktu lebih lama. Tarif umum Wonosobo-Dieng adalah Rp 7.000 saja, itu kata teman saya yang pernah tinggal beberapa lama di Dieng. Akan tetapi, wisatawan harus berhati-hati karena kondektur biasanya menaikkan tarif semena-mena kepada wisatawan atau siapapun yang terlihat seperti pendatang.
Satu jam kemudian, kami sampai di Dieng. Ada berbagai pilihan penginapan yang harganya beragam, di antaranya bahkan sangat terjangkau. Saya memilih Hotel Asri yang terletak di depan Masjid Jami Baiturrohman, Dieng. Jangan bayangkan hotel bintang lima, hotel ini merupakan bangunan rumah lama namun bersih dan layak tinggal. Harga per malamnya yaitu Rp 60.000 untuk kamar dengan kamar mandi luar dan Rp 75.000 dengan kamar mandi dalam. Kami memilih yang kedua.
Telaga Warna
Telaga Warna menjadi tempat wisata pertama yang kami kunjungi di Dieng. Jaraknya sekitar 500 meter dari hotel sehingga kami memutuskan untuk berjalan kaki saja. Setelah berjalan beberapa saat, kami melihat sebuah pos kecil dan tanda panah bertuliskan “Telaga Warna”, maka kami pun menuju ke sana. Saya sempat berpikir, “Kok tempat masuknya aneh ya? Tidak ada papan ‘selamat datang’ atau pintu masuk sebagaimana di tempat wisata biasanya”. Lalu di situ ada seorang Bapak yang memberi tahu bahwa untuk masuk Telaga Warna kami harus membayar Rp 5.000.
Memasuki kawasan Telaga Warna, awalnya kami kecewa. Tempatnya seperti tidak terurus, dan sebagian besar tanahnya becek, ditambah bau belerang dari batuan yang ada di situ. Kami berdua saling memandang dan…mencoba tertawa! Menikmati hal-hal tidak mengenakkan selama traveling adalah sebuah seni tersendiri. Akhirnya kami berfoto dan mencari angle sebagus mungkin supaya tempat ini tidak terlihat terlalu mengecewakan. Ditambah cuaca kurang bersahabat, suasana menjadi makin suram.
Ternyata… tempat kami masuk tadi memang bukan area yang biasa dikunjungi wisatawan. Dari pintu masuk, seharusnya kami belok kanan, eh kami tadi malah belok kiri. Ternyata (lagi) bagian lain dari telaga itu memang indah. Akhirnya kami duduk-duduk sambil menikmati pemandangan Telaga Warna yang telaganya menunjukkan gradasi warna hijau yang berbeda.
Keluar dari Telaga Warna, kami baru tersadar bahwa ada pintu lain yang memang resmi untuk keluar-masuk wisatawan, dengan tarif yang juga Rp 5.000 (jadi yang tadi tempat kita masuk itu apa dong?). Berhubung perut kami sudah demo minta makan, kami cap-cip-cup memilih tempat makan. Kami memesan nasi goreng yang rasanya biasa-biasa saja seharga Rp 10.000. Tapi untuk ukuran tempat wisata, harganya tidak terlalu selangit kok.
‘Mandi Asap’ di Kawah Sikidang
Tujuan berikutnya adalah Kawah Sikidang. Hujan rintik-rintik ketika kami berjalan menuju loket Telaga Warna yang tidak jauh dari situ. Tujuannya adalah hendak bertanya kepada petugas tentang tarif ojek menuju Kawah Sikidang. Sengaja kami tidak bertanya tukang ojek, karena biasanya mereka menawarkan harga yang tak wajar (tips: tanyalah tarif pada penduduk lokal).
Tiba-tiba ada seorang Bapak berkumis dan berjaket tebal mendekati kami. Ia menawarkan naik motornya ke kawah. Dia minta Rp 10.000, tapi kami menawar dengan alasan menurut petugas loket tarifnya hanya Rp 5.000. Akhirnya dia setuju dengan harga itu asalkan langsung dibonceng berdua, jadi semotor bertiga. Jadi intinya satu motor tetap Rp 10.000. Ya sudahlah kami setuju.
Melewati pos masuk Kawah Sikidang, kami tidak berhenti untuk membayar karcis. Saya penasaran dan bertanya, “Kok nggak berhenti, Pak?” Lalu dia menjawab, “Tadi saya bilang mbak-mbak ini saudara saya yang sedang KKN (Kuliah Kerja Nyata) di sini, jadi ndak usah bayar. He-he.. Kalau ada yang bertanya bilang saja Mbak ini saudaranya Pak Mustaqim.” Akhirnya sejak detik itu kami resmi menjadi saudara Pak Mustaqim. He-he…
Sesampainya di kawasan kawah, kami turun dari motor. Pak Mustaqim memberikan nomor ponselnya dan menyarankan supaya nanti SMS saja kalau kami sudah mau pulang. Nanti dia akan menjemput lagi ke sini dan mengantar sampai hotel dengan tarif yang sama. Kami pun setuju. Lalu kami bersenang-senang dan ‘mandi asap’ di Kawah Sikidang. Brrrr…udaranya super dingin... Saya kurang persiapan, pergi ke Dieng tanpa membawa jaket tebal, kaus kaki, dan sarung tangan. Saya hanya mengandalkan sebuah cardigan yang sedikit menghangatkan.
Waktu menunjukkan hampir pukur 5 sore ketika akhirnya kami dijemput lagi oleh Pak Mustaqim. Di perjalanan pulang, ia bertanya apakah besok pagi kami mau melihat sunrise. Kami benar-benar tidak punya informasi mengenai hal itu sebelumnya. Maka ia menawarkan untuk antar-jemput lagi besok. Katanya justru turis-turis asing yang menginap di Dieng itu salah satu tujuannya ingin melihat matahari terbit di Puncak bernama Sikunir. Kami pun bersemangat dan langsung setuju.
Berburu Sunrise di Puncak Sikunir
Mampir di Telaga Cebong Udara di Dieng benar-benar dingin. Jangankan untuk mandi, berwudhu saja menjadi perjuangan tersendiri. Setiap air menyentuh kulit, rasanya ngilu seperti ditusuk-tusuk. Pagi itu saya terbangun sebelum adzan subuh. Ponsel saya berbunyi, ternyata itu adalah panggilan dari Pak Mustaqim. Katanya pagi itu langit cerah dan kita jadi menuju Puncak Sikunir. Senang sekaligus prihatin mengingat outfit yang tidak mendukung. Akhirnya saya pinjam kaus kaki teman, lalu mengenakan pakaian beberapa lapis. Setelah selesai solat Subuh, Pak Mustaqim sudah menunggu di depan hotel.
Saya agak lupa berapa lama waktu yang ditempuh dari hotel ke Sikunir. Tapi yang jelas membayar Rp 30.000 per orang untuk perjalanan itu sangat sebanding dengan apa yang saya dapatkan. Lagi pula lokasinya cukup jauh dan medannya agak sulit. Jalannya jelek dan naik-turun. Sepanjang perjalanan di motor, kaki saya rasanya mati rasa, kaus kaki tipis itu tidak cukup menghangatkan.
Kami sampai di area pendakian sekitar jam lima lewat sedikit. Pak Mustaqim menemani kami naik sampai ke Puncak. Hmm.... lumayan nih melatih kaki lagi setelah lama tidak mendaki gunung. Sesampainya di Puncak, selalu ada sensasi yang luar biasa. Pemandangannya sangat indah. Dari Puncak Sikunir, terlihat Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro, serta pemukiman di mana terlihat rumah-rumah dan perkebunan membentang. Kami harus menunggu beberapa saat di Puncak sampai matahari muncul dengan cantiknya.
Sekitar pukul 7 kami turun dari puncak untuk menuju ke telaga Cebong yang terletak tak jauh dari jalan menuju puncak. Kami sekalian berjalan kaki ke sana karena kebetulan Pak Mustaqim memarkirkan motornya di dekat telaga. Udara pagi yang sejuk dicampur sinar matahari yang belum lama terbangun, membuat udara dingin Dieng sedikit terhangatkan. Telaga Cebong memantulkan bayangan dari pepohonan dan bukit-bukit di sekitarnya, melengkapi keindahan pagi itu.
Candi Arjuna
Setelah merasa cukup duduk-duduk dan berfoto, kami melanjutkan perjalanan ke Candi Arjuna. Pak Mustaqim mengantarkan kami ke sana kemudian ia langsung pulang karena jam delapan ia harus bekerja. Matahari sudah mulai terik ketika kami sampai di candi. Pak Mustaqim berpamitan setelah ia menunjukkan kepada kami sebuah rumah makan di sekitar candi agar kami bisa sarapan dahulu. Kami mengucapkan terima kasih dan langsung memesan makanan.
Karena kami datang masih cukup pagi, candi pun masih terbilang sepi. Hanya ada beberapa penduduk lokal yang berjalan-jalan pagi di sana dengan membawa serta anak-anaknya yang masih kecil. Kami pun bisa dengan leluasa mengeksplor candi tersebut sampai berfoto narsis.
Telaga Menjer
Kami beranjak meninggalkan Dieng setelah dzuhur. Tujuan selanjutnya adalah Telaga Menjer yang terletak di desa Menjer, 12 kilometer dari Dieng ke arah Wonosobo. Menuju Telaga Menjer, kami mendapat pengalaman yang tidak menyenangkan. Seperti biasa, kami sudah bertanya ke penumpang lain di bus berapa tarif yang harus kami bayar sampai di Pasar Garung. Katanya tarifnya hanya Rp 2.000. Dan lagi-lagi kondektur menaikkan tarif, kali ini bahkan tiga kali lipat dari yang sewajarnya.
“Lho, kok kembaliannya cuma segini? Kan harusnya cuma bayar 2 ribu,” protes saya.
Si kondektur terlihat kaget karena saya tahu tarif yang sebenarnya. Lalu dia berdalih, “Yah..itu kan buat penumpang yang biasa langganan naek bus setiap hari.” Alasan basi.
Begitu turun di Pasar Garung, saya meminta uang kembalian lagi dan akhirnya ia memberikan saya beberapa lembar uang yang setelah dihitung jumlahnya masih kurang dari yang seharusnya. Tapi bus itu mulai beranjak pergi. Saya dan teman saya hanya bisa mendoakan semoga si kondektur segera kembali ke jalan yang benar. Baiklah, mari kita lupakan kondektur itu. Sekarang kita menuju ke Telaga Menjer. Kami diberi tahu ibu-ibu untuk naik angkot berwarna biru menuju telaga, katanya tarifnya nggak lebih dari Rp 2.000. Untunglah kali ini kondekturnya jujur. Tarif untuk sampai ke telaga adalah Rp 1.500 per orang (kaget zaman sekarang masih ada tarif angkot semurah itu).
Tarif masuk Telaga Menjer cukup Rp 2.000 saja. Tempatnya indah, tetapi lebih sepi pengunjung dibandingkan Telaga Warna di Dieng. Sesampainya di sana, kami disambut bapak-bapak berperahu yang menawarkan untuk menyusuri telaga dengan tarif Rp 5.000 saja. Kami langsung setuju tanpa protes karena menganggap itu harga yang wajar. Wah udaranya sejuk, suasananya tenang, hanya terdengar suara air yang gemericik dilewati perahu. Sayang ya tempat-tempat bagus di Indonesia seringkali kurang terdeteksi dan kurang promosi. Jangankan turis asing, turis lokal saja banyak yang tidak tahu.
Mencari Oleh-oleh Khas Wonosobo
Hujan turun rintik-rintik ketika kami baru turun dari perahu. Kami pergi ke toko oleh-oleh bernama “Aneka” yang direkomendasikan oleh teman saya yang orang Wonosobo. Ternyata oleh-oleh makanan di sana cukup lengkap dan semuanya menggiurkan. Makanan Wonosobo memang enak-enak, dari mulai keripik dan berbagai cemilan dari kentang sampai manisan carica yang paling terkenal. Carica sendiri adalah buah yang masih saudara dengan pepaya. Pohonnya pun mirip pohon pepaya tetapi dengan ukuran lebih kecil. Saya baru pertama melihat langsung pohonnya di dekat Telaga Cebong. Berhubung uang sudah pas-pasan, saya hanya membeli beberapa gelas carica dan cemilan sebagai oleh-oleh untuk anak kost.
Satu lagi yang sayang untuk dilewatkan di Wonosobo adalah mencicipi Mie Ongklok. Saya yang saat itu masih agak kenyang, hanya mencicipi mie yang dibeli oleh teman saya. Ternyata mie tersebut sangat enak. Seperti mie ayam tetapi dengan sayuran lebih banyak dan dicampur sate ayam dengan bumbu kacang. Benar-benar mantap dimakan panas-panas. Kuahnya juga sangat berasa, bercampur dengan rasa kacang dari bumbu sate.
Selesai makan, teman saya bilang, “Mbak, katanya kenyang? Tapi makannya banyak…”
Saya baru tersadar.. Oh iya ya… sepertinya kegiatan icip-icipnya sampai setengah mangkok. Setelah kenyang, saatnya pulang ke Jogja. Hujan menemani kepulangan kami. Perjalanan ke Dieng ini sungguh tak terlupakan.
Sumber: Kompas.com