Rabu, 25 Mei 2011

Gerakan Satu Miliar Pohon Dilanjutkan

Ilustrasi
 
 
Gerakan Nasional Menanam Satu Miliar Pohon akan tetap dilanjutkan guna menjaga keseimbangan alam sekaligus sebagai bentuk komitmen Indonesia menurunkan gas rumah kaca sebesar 26 persen tahun 2020.

Staf ahli Menteri Negara Lingkungan Hidup Januardi Rasuddin di Medan, Selasa, mengatakan, tema Hari Lingkungan Hidup Indonesia tahun 2011 ini adalah "Hutan Penyangga Kehidupan".

Makna utama dari tema tersebut adalah hutan memiliki nilai sebagai penjaga keseimbangan antara kepentingan manusia dan semua mahluk hidup lainnya di dunia. Fungsi tersebut dapat tercapai apabila hutan tetap terjaga kelestariannya.

Satu hal yang paling utama dilakukan adalah melanjutkan dan mengembangkan upaya penanaman dan pemeliharaan pohon seperti Gerakan Satu Miliar Pohon yang dicanangkan Presiden.

"Gerakan tersebut dapat dilakukan oleh semua individu yang pada dasarnya adalah hak dan kewajiban bersama. Hal ini sejalan dengan komitmen Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen pada tahun 2020," katanya.

Selain itu, lanjut dia, harus dikembangkan pemikiran dan kebijakan yang melihat hutan sebagai sumber daya kehidupan selain kayu. Paradigma ini sudah sangat kondusif khususnya bagi Indonesia yang sangat kaya akan keanekaragaman hayati.

Posisi Indonesia sebagai salah satu mega biodiversity dunia semakin mendapatkan potensinya sejak ditandatanganinya Protokol Nagoya pada 2010. Protokol ini dapat menciptakan mekanisme berkeadilan dalam pemanfaatan sumber daya genetis.

"Potensi ini ditunjang pula oleh kekayaan pengetahuan tradisional yang pada umumnya dimiliki oleh masyarakat hukum adat serta inisiatif-inisiatif individu dalam pelestarian lingkungan, seperti kegiatan Bank Pohon yang dirintis oleh Paris Sembiring sebagai penerima penghargaan Kaplataru Bidang Perintis Lingkungan," katanya.

Menurut dia, hal yang lebih penting lagi ditanamkan adalah pemahaman bahwa hutan adalah penyangga kehidupan bagi semua dan bukan sebagai ancaman kehidupan.

Tidak ada yang lebih berharga daripada kehidupan yang harmonis antara manusia dan lingkungan hidupnya, dimana termasuk di dalamnya adalah ekosistem tempat berpijak flora dan fauna.

Untuk itu, sangat diharapkan adanya komitmen dari semua pihak untuk turut serta dalam pelestarian dan pemanfaatan lingkungan secara berkelanjutan.

"Kita patut berharap semoga semua upaya yang kita lakukan dalam rangka menjaga dan melestarikan fungsi hutan mampu menekan laju kerusakan hutan yang terjadi untuk mengindarkan kita dari bencana yang besar," katanya.(*)

Sumber : Antaranews.com

Selamat Datang Kepunahan Global

Ilustrasi

Menurut sebuah penelitian baru-baru ini, tingkat kepunahan global mencapai 160 persen atau sudah melewati batas. Beberapa tahun terakhir, sejumlah penelitian juga memprediksi bahwa perusakan habitat akan meningkat dari 20 persen hingga 50 persen untuk semua spesies di Bumi dalam 500 tahun.

Berdasarkan penelitian Stephen Hubbell, ekolog Universitas California, Los Angeles, banyak spesies yang hampir punah, meskipun hal tersebut tidak akan secepat yang dikhawatirkan. "Kabar baiknya adalah kita masih punya banyak waktu untuk bisa menyelamatkan beberapa spesies," kata Hubbell. Kabar buruknya, tegas Hubbell, adalah hilangnya berbagai habitat di abad 21 seperti cagar alam yang dapat mempercepat kepunahan ini.

Tidak ada bukti atau metode langsung yang dapat menunjukan tingkat kepunahan, jadi kebanyakan ilmuwan menggunakan metode tidak langsung untuk memperkirakan kecepatan punahnya flora dan fauna. 

Metode tersebut mengkalkulasi tingkat spesies baru yang ditemukan ketika lokasi habitat baru ditemukan, yang disebut species-area relationship (SAR), berbanding terbalik dengan kurva prediksi jumlah spesies yang akan punah di lokasi habitat yang rusak dengan luas yang sama.

Menurut Hubbell metode tersebut kurang tepat, karena lahan yang hilang lebih banyak dibandingkan dengan penemuan spesies barunya. Oleh karena itu, hanya satu jenis spesies yang harus ditemukan di area yang dianggap sebagai lokasi populasi baru.(NationalGeographic/ADO) 

Sumber : Liputan 6.com

Rabu, 18 Mei 2011

AS Kembalikan Lima Tengkorak Suku Dayak

Ilustrasi

Pemerintah Amerika Serikat membongkar penyelundupan lima tengkorak manusia berukir yang diyakini milik suku Dayak di Kalimantan dan berasal dari abad ke-18 dan ke-19. Tengkorak itu telah diserahkan kepada Pemerintah Indonesia. Tengkorak-tengkorak itu pada Senin (16/5/2011) diserahkan oleh Pemerintah AS kepada Pemerintah Indonesia dalam sebuah upacara di Konsulat Jenderal RI di New York.
Penanda tangan penyerahan dilakukan oleh Deputy Special Agent US Immigration and Customs Enforcement (ICE)-Homeland Security Investigation (HSI) di New York Mona B Forman, yang mewakili Pemerintah AS, dan Acting Konsul Jenderal RI di New York Zahermann Muabezi, mewakili Pemerintah Indonesia.
Upaya penyelundupan lima benda purbakala suku Dayak itu digagalkan setelah para petugas US Customs and Border Protection (CBP) menindaklanjuti kecurigaan mereka terhadap sebuah paket yang mereka periksa di kantor pos di Newark, New Jersey, Agustus 2010.
Paket tersebut mencantumkan Bali, Indonesia, sebagai alamat pengirim. Pernyataan yang melekat di paket mencurigakan itu menyebutkan bahwa barang-barang yang ada dalam paket nilainya tidak lebih dari 5 dollar AS.
Para agen HSI New York kemudian melakukan investigasi terhadap asal-muasal pengiriman serta melakukan pengecekan terhadap perkiraan nilai tengkorak-tengkorak, yang masing-masing memiliki ukiran dengan ciri khas tersendiri. Perkiraan diperlukan karena, menurut peraturan bea impor AS, setiap pengiriman benda dengan nilai lebih dari 2.000 dollar AS harus disertai dengan pernyataan yang jelas.
Ahli spesialis jual-beli benda seni yang ditunjuk HSI untuk melakukan penilaian secara independen terhadap kelima tengkorak ternyata menyebutkan nilai yang jauh berbeda. Setiap tengkorak dengan ukiran unik itu disebutkan memiliki nilai antara 3.000 dollar dan 4.800 dollar AS.
Tengkorak-tengkorak tersebut akhirnya disita oleh HSI karena nilai totalnya sekitar 20.000 dollar AS. HSI juga memutuskan kelima tengkorak diserahkan kepada Pemerintah Indonesia.
Pengembalian benda purbakala itu, ujar Mona B Forman, merupakan upaya AS dalam menunjukkan rasa hormat pada warisan budaya milik rakyat Indonesia.
"Pengembalian benda seni yang unik, bernilai seni, dan sangat berharga bagi rakyat Indonesia ini mengingatkan kita kembali akan nilai penting benda-benda bersejarah dan benda-benda warisan budaya, yaitu bahwa nilainya jauh lebih besar daripada harga yang bisa disebutkan dalam dollar dan sen," kata Forman.
Forman mengatakan, saat ini investigasi masih terus dilakukan dalam upaya mengungkap pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam kasus pengiriman barang-barang purbakala tersebut ke AS. Diterbangkan ke Jakarta
Zahermann Muabezi seusai penandatanganan serah terima menyampaikan pujian atas kerja keras dan kerja sama yang disampaikan oleh ICE HSI dan CBP.  Ia mengungkapkan, kelima tengkorak suku Dayak itu akan langsung diterbangkan pada Senin malam ke Jakarta.
Benda-benda purbakala tersebut akan dibawa oleh Konsul Protokol dan Konsuler KJRI-New York Abraham FI Lebelauw menggunakan pesawat maskapai penerbangan Singapore Airlines, yang dijadwalkan tiba di Jakarta pada Rabu (18/5/2011).
Lima tengkorak Dayak kemudian akan diserahterimakan keesokan harinya (19/5/2011) dari Kementerian Luar Negeri RI kepada Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Setelah itu, akan ditentukan apakah tengkorak-tengkorak tersebut akan diserahkan kepada komunitas suku Dayak di Kalimantan atau akan disimpan di museum.
Menurut Mona B Forman, penyerahan pada hari Senin merupakan pertama kalinya yang dilakukan ICE HSI New York menyangkut benda-benda purbakala selundupan asal Indonesia. ICE adalah badan pemerintah AS yang kerap memainkan peran utama dalam berbagai investigasi tindak kriminal terkait dengan impor dan distribusi cagar budaya secara ilegal, juga perdagangan ilegal benda seni, terutama barang-barang seni yang dilaporkan hilang atau dicuri.
Sejak tahun 2007, ICE telah merepatriasi lebih dari 2.100 cagar budaya, benda seni, dan benda antik ke lebih dari 15 negara. Melalui 70 kantor atase di 40 negara, kantor ICE Urusan Internasional dapat melakukan kerja sama dengan pemerintah asing untuk menjalankan investigasi bersama guna mengungkap kasus-kasus penyelundupan dan perdagangan cagar budaya.
Di AS, pelaku perdagangan ilegal cagar budaya, benda seni, dan barang antik diancam hukuman penjara hingga 20 tahun, juga denda serta kemungkinan pembayaran ganti rugi terhadap pengembalian barang. 

Sumber : Kompas.com

Ozon Kutub Utara Hampir Berlubang



Ozon terus menipis, bahkan nyaris berlubang di Kutub Utara. Penurunan temperatur stratosfer yang jadi penyebab.
Penyebab terbentuknya lubang ozon ada tiga, menurut Profesor Ross Salawitch, ahli kimia dan biokimia dari University of Maryland, yang mempelajari kandungan zat kimia di atmosfer. Ketiganya adalah sinar matahari, halogen, dan temperatur rendah.
Saat temperatur turun melebihi ambang batas, awan terbentuk di stratosfer. Halogen, khususnya polutan, seperti klorin dan brom, berubah menjadi senyawa kimia yang bereaksi dengan cepat di ozon. "Semua berubah drastis," kata Salawitch.
Tahun ini sistem angin kutub yang dikenal dengan nama "pusaran kutub" sangat tenang dan stabil. Hal itu berperan dalam menurunkan temperatur di daerah Kutub Utara. Penurunan drastis ini, jika terjadi di Kutub Selatan, dipastikan bisa membentuk lubang ozon karena lapisan ozon di sana lebih tipis daripada di Kutub Utara.
Saat ini pusaran angin sudah menghilang dan udara dari luar Kutub Utara yang lebih hangat bisa masuk dan memperbaiki lapisan ozon.
Jika ozon berlubang, semakin banyak radiasi ultraviolet yang mencapai bumi yang bisa memicu penyakit kulit. Dengan lapisan ozon yang semakin tipis saja orang berkulit sensitif akan semakin mudah terbakar sinar matahari. (National Geographic Indonesia/Agung Dwi Cahyadi

Sumber : Kompas.com

Satwa Endemik Gorontalo Terancam Punah

Salah satu spesimen Tarsius wallacei yang ditangkap Uwemanje, Sulawesi Tengah. 

Sebaran satwa endemik di Suaka Margasatwa (SM) Nantu, Provinsi Gorontalo, kian tak terpantau. Perambahan hutan dan penambangan liar menyebabkan habitat satwa terganggu.
Kondisi tersebut dikhawatirkan mempercepat kepunahan satwa langka di lahan 31.000 hektar itu. Satwa endemik di SM Nantu, antara lain babi rusa, tarsius, monyet sulawesi, anoa, dan burung rangkong.
"Pengamatan kami, beberapa satwa endemik keluar dari kawasan Nantu karena habitat mereka terganggu aktivitas ilegal," kata Alfin Bawohan, asisten peneliti Yayasan Adundu Nantu Internasional (YANI), lembaga nirlaba pelestarian kawasan Nantu, Senin (16/5/2011).
Menurut Alfin, perambah hutan salah satunya mengincar rotan di SM Nantu. Rotan di kawasan ini kualitasnya nomor satu dengan usia puluhan tahun dan panjang hingga 100 meter

Sumber : Kompas.com

Senin, 16 Mei 2011

Nelayan Teluk Lampung Keluhkan Kerusakan Terumbu Karang


Sejumlah nelayan di pesisir Teluk Lampung mengeluhkan kerusakan terumbu karang yang semakin parah hingga menurunkan tangkapan ikan mereka.

"Sekarang ini sangat sulit untuk mendapatkan ikan tangkapan. Kondisi ini disebabkan makin rusaknya terumbu karang yang ada di teluk ini," kata Tarudin (40), seorang nelayan di pesisir Desa Gubuk Sero, Kelurahan Kangkung, Kecamatan Telukbetung Selatan, Bandarlampung, Senin.

Ia mengatakan, kerusakan tersebut diakibatkan karena masih maraknya nelayan yang menangkap ikan dengan menggunakan bahan peledak dan pukat harimau.

Menurut dia, kerusakan terumbu karang membuat ikan yang berada di Teluk Lampung seperti "menghilang".

"Akibat rusaknya terumbu karang tersebut, pendapatan kami menurun hingga 50 persen, karena ikan-ikan sangat jarang dan sulit didapat," katanya.

Ia mengatakan banyak nelayan yang mencari ikan hingga ke daerah Laut Jawa bahkan sampai Laut Kalimantan karena sulitnya mendapatkan ikan di daerah Teluk Lampung.

Keluhan senada juga diungkapkan oleh Usup (27), Nelayan Desa Umbul Asem, Kecamatan Telukbetung Barat, Bandarlampung.

Ia menuturkan, akibat jauhnya tempat mencari ikan membuat dirinya harus mengeluarkan modal lebih banyak lagi.

"Biasanya modal kami hanya Rp2 juta-Rp2,5 juta untuk dua hari melaut, tetapi karena jauhnya lokasi tangkapan dan memakan waktu hingga seminggu, maka kami harus mengeluarkan modal sedikitnya Rp4 juta-Rp5 juta," jelas dia.

Ia mengatakan, untuk mensiasati modal tersebut terkadang nelayan menjual ikan tangkapannnya di daerah lain untuk mendapatkan modal kembali.

"Kami sering kahabisan modal di jalan sehingga kami harus menjual ikan ke daerah terdekat di luar Lampung, dan uangnya untuk membeli keperluan logistik agar kami dapat pulang ke rumah," kata dia.

Sejumlah nelayan berharap agar pemerintah dapat menindak tegas para nelayan yang mencari ikan dengan cara ilegal tersebut yang dapat merusak habitat laut, seperti terumbu karang yang menjadi rumah bagi sebagian ikan.

Diperkirakan lebih dari 18 persen terumbu karang di Teluk Lampung dan sekitarnya saat ini telah mati.

Dua tahun lalu, Pemprov Lampung menyebutkan antara empat hingga 28 persen terumbu karang di kawasan itu tertutup pasir, sementara 0,6 hingga 45 persennya pecah atau bentuk morfologisnya sudah tidak utuh lagi.

Kesulitan nelayan untuk mendapatkan ikan tangkapan berpengaruh pada naiknya harga ikan pada beberapa tempat pelelangan ikan (TPI) di Bandarlampung.

Sementara itu sejumlah agen juga mengeluhkan mahalnya harga ikan yang dibeli dari nelayan dengan cara lelang untuk memenuhi pasokan ke berbagai pedagang yang ada di Bandarlampung.

"Saya terpaksa membeli ikan dengan harga tinggi, daripada tidak ada stok untuk memasok pedagang," kata Gembor (45), salah seorang agen ikan di TPI Gudang Lelang, Bandarlampung.

Ia menjabarkan, di kalangan agen harga ikan tongkol Rp20 ribu/kilogram, ikan kembung sate Rp17 ribu/kilogram, ikan teri nasi Rp 15 ribu/kilogram, ikan simba Rp35 ribu/kilogram.

Sumber : Antaranews.com

Sebagian Besar Hutan Mangrove Jadi Tambak






Komunitas Nol Sampah Kota Surabaya menyatakan sebagian besar Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya) yang selama ini merupakan hutan Mangrove itu kini sudah menjadi tambak.

Koordinator Komunitas Nol Sampah, Wawan Some, Minggu, mengatakan, dari investigasi yang dilakukan aktivis lingkungan di Surabaya selama satu tahun terakhir ini, diketahui kerusakan hutan mangrove di Pamurbaya dimulai pada tahun 1980-an ketika warga dengan mudah membabat hutan mangrove untuk dijadikan tambak.

Menurut Wawan hal ini didukung oleh pihak Desa Wonorejo saat itu yang sangat mudah mengeluarkan Petok D, sehingga sebagian besar tambak-tambak tersebut hak kepemilikannya sudah berpindah tangan walau masih dikelola oleh warga setempat.

"Tambak-tambak ber petok-D tersebut sudah dijual kepada investor atau jurugan tanah," katanya.

Wawan mencontohkan kondisi hutan mangrove di Keputih (Pamurbaya bagian utara) sebenarnya pada tahun 1980-an terus tumbuh ke arah laut, namun tambak-tambak baru terus muncul mengikuti pertumbuhan mangrove ke arah laut.

Kondisi yang sama, lanjut dia, juga terjadi di daerah selatan Pamurbaya yang diketahui banyak Mangrove dibabat untuk dijadi tambak.

Dalam perkembangannya ketebalan hutan mangrove juga terus menipis yakni rata-rata hanya 10 meter sehingga dari arah laut akan jelas terlihat tambak. Bahkan di beberapa sisi salah satunya di daerah

Keputih (utara muara kali Jagir) sudah tidak ada vegetasi mangrove.

Padahal pada awal tahun 1990-an di lokasi tersebut masih banyak banyak dijumpai vegetasi mangrove jenis Sonneratia alba, Rhiphora mucronata dan Avicenia alba yang diameter batangnya mencapai 2 meter.

Kondisi tambak saat ini sangat jarang ditumbuhi vegetasi mangrove. Ini yang perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah setempat. "Idealnya tambak-tambak tersebut dipagari vegetasi mangrove," katanya.

Keberadaan mangrove di tanggul-tanggul tambak sangat penting, selain berfungsi sebagai jalur hijau, vegetasi mangrove tersebut juga memberi keuntungan ganda bagi pemilik tambak.

Selain akan menguatkan tanggul, juga akan menjadi biofilter dan tempat pemijahan bagi ikan dan udang

Sumber : Antaranews.com

Ikan Batanghari Terancam Limbah Tambang Emas

Sungai Batanghari yang Terancam limbah tambang emas ( Ilustrasi )

Zat besi yang dihasilkan penambangan emas tanpa izin mengancam habitat atau kelangsungan ikan di Sungai Batanghari, karena dapat meracuni ikan yang hidup di sungai terpanjang di Sumatera itu.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Jambi, Herman Rahim di Jambi, Senin mengatakan, kendati sampai saat ini ikan budidaya yang dilakukan di Sungai Batanghari bebas dari logam berat, seperti mercury dan zat besi akibat, namun membahayakan bagi habitat perikanan umum.

"Masih maraknya penambangan emas tanpa izin (PET) di sungai yang menjadi andalan untuk memacu produksi perikanan air tawar itu, harus segera dihentikan, karena limbah yang dihasilkan akan meracuni ikan dan berbahaya untuk dikonsumsi," katanya.

Ia menyebutkan, tingkat pencemaran sungai Batanghari kian meningkat, baik oleh limbah rumah tangga, perusahaan dan PETI, namun masih aman untuk budidaya.

Di Sungai Batanghari kini terdapat sekitar 18.000 unit lebih keramba dan jaring apung untuk budidaya berbagai jenis ikan air tawar, seperti nila, patin jambal dan lainnya, dan itu akan terus ditingkatkan, terutama patin jambal.

Sampai saat ini  kualitas air di Sungai Batanghari masih layak untuk pengembangan sektor perikanan budidaya ikan air tawar, dan ikan yang dihasilkan pun aman untuk dikonsumsi, karena bebas dari logam berat dan racun lainnnya.

"Kendati masih layak bagi pengembangan sektor perikanan, untuk tetap menjaga kualitas airnya, kita juga minta pada instansi terkait untuk menekan dan memerangi PETI, karena tidak menutup kemungkinan bila tidak dicegah, mercury yang dihasilkan bisa meresap ke tubuh ikan dan bahaya untuk dikonsumsi," kata Herman Suherman.

Sumber : Antaranews.com

8 Spesies Baru Ikan Karang Ditemukan di Bali

Salah Satu spesies Ikan karang, yang baru di temukan di Bali
 
Ilmuwan dari Conservation International menemukan delapan spesies ikan karang baru dan satu spesies karang baru di Bali. Spesies-sepsies tersebut diyakini merupakan spesies khas Bali, bukan migrasi dari wilayah lain. Demikian dilansir kantor berita AFP.
Spesies ikan itu meliputi golongan belut, damsels, serta ikan warna-warni. "Kami telah melakukan survei kelautan di 33 tempat di Bali dan berhasil mengidentifikasi 952 ikan karang dan kami menemukan delapan spesies baru," kata penasihat tim peneliti Mark van Nydeck Erdmann.
Survei kelautan dilakukan di kawasan wisata populer timur laut Tulamben, kawasan Dicing, Nusa Dua, Gili Manuk, dan Pemuteran pada kedalaman 10 hingga 70 meter. Hasil penelitian dinilai mengejutkan sebab Bali ternyata memiliki biodiversitas ikan yang tinggi.
Spesies baru yang ditemukan belum dinamai, tetapi masing-masing masuk dalam genus Siphamia, Heteroconger, Apogon, Parapercis, Meiacanthus, Manonichthys, Grallenia, dan Pseudochromis. Sementara jenis karang yang ditemukan masuk dalam golongan Euphyllia.
Karena jenis ikan ini pertama kali ditemukan di Bali, ilmuwan berasumsi bahwa semua spesies tersebut khas Bali. Bersama penemuan itu, ilmuwan menyatakan bahwa kondisi terumbu karang saat ini lebih baik daripada 20 tahun lalu.
Di tengah penemuan spesies ikan baru itu, ternyata beberapa jenis ikan komersial, seperti kerapu, napoleon, dan hiu, sudah sulit ditemukan. Hal ini membuktikan adanya overfishing sehingga menuntut pengendalian penangkapan. 

Sumber : Kompas.com

Bertelur dalam Gelap, Dijual Kala Terang

Seekor penyu hijau (Chelonia mydas) betina berdiameter satu meter membuat sarang dan bertelur di pesisir pantai Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, Senin (31/7). Populasi penyu di daerah itu terancam akibat perburuan dan penjualan telur. 
Waktu bertelur bagi penyu hijau atau Chelonia mydas seolah-olah sudah diatur alam raya terjadi pada malam hari untuk menghindari pemangsa. Pemerintah juga telah mengeluarkan undang-undang yang melindungi generasi spesies langka itu. Tapi manusia seperti t idak kehabisan akal untuk menjual-belikan telur-telur itu.
Seorang ibu-ibu berdandan menor menghampiri Solehudin, petugas dari UPTD Konservasi Penyu Hijau Pangumbahan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi, pada perayaan Hari Nelayan Ujunggenteng, Sabtu (8/5/11) siang. Ia menanyakan di mana bisa beli telur penyu. "Kita tidak menjual, bu. Semua telur untuk ditetaskan. Kalau mau lihat, datang saja ke Pangumbahan," kata Solehudin, tanpa dibalas kata-kata oleh si ibu tadi.
Aturannya memang begitu. Undang-undang Nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya telah melarang siapapun untuk mengambil, merusak, memusnahkan, menyimpan atau memiliki telur penyu. Tapi kenyataannya, telur penyu masih ada di pasaran. 
"Mau beli berapa? Sebutirnya Rp 5.000," kata Karto di tempat parkir Pantai Ujunggenteng saat ditanya apakah ada penjual telur penyu di sekitar situ. Karto mengaku bukan pedagang, tetapi bisa menghubungkan calon pembeli dengan pencari telur.
Ia paham bahwa telur penyu haram diperjual-belikan. Ia pun tahu hukuman bagi pelanggar undang-undang itu. Tapi masih banyak yang cari. "Pengunjung dari Jakarta dan Bandung biasanya beli banyak, sampai seratus butir sekali datang. Katanya sih bisa untuk kesehatan dan menambah vitalitas pria dewasa," ujarnya enteng.
Setelah tercapai kesepakatan, Kompas diajak ke sebuah rumah di kawasan Kalapa Condong, sekitar tiga kilometer dari Pantai Ujunggenteng, untuk menemui Nono (bukan nama sebenarnya). Dalam perjalan, Karto bercerita, Nono biasanya punya persediaan telur penyu untuk dijual.
Saat ditemui, Nono sedang duduk di balai di rumah panggung berdinding anyaman bambu. Di situlah pria berusia sekitar 50 tahunan ini tinggal bersama istri dan tujuh anak. Mengejutkan, ternyata Nono adalah komandan Kelompok Masyarakat Pengawas yang dibentuk oleh UPTD Konservasi Penyu Hijau Pangumbahan.
"Setiap malam ada warga sekitar Pangumbahan yang mengambil diam-diam telur penyu di daerah konservasi itu. Kalau mau, tunggu dulu sebentar, nanti saya ambilkan di rumah mereka yang semalam habis dapat telur," ujar Nono.
Ia kemudian memakai seragam bertugasnya, jelas terpampang namanya, dan nama instansi tempat ia bekerja. Sebelum berangkat, Karto mengajak kami kembali ke tempat parkir untuk menunggu Nono.
Tidak sampai setengah jam, Nono menghampiri kami dengan sepeda motornya. "Sudah ada. Ambil saja di rumah," ujarnya singkat.
Kami pun bergegas mengikuti Nono. Karto yang berinisiatif mengambil sendiri ke rumah Nono, dan kami mengunggu di mobil. Tak lama, Karto kembali dengan tangannya diselinapkan ke balik kaus di pinggul belakang. Ia baru menyerahkan bungkusan berplastik putih setelah sampai di dalam mobil. Transaksi selesai.
Kendala pengawasan
Janawi, Kepala Sub Bagian Tata Usaha UPTD Konservasi Penyu Hijau Pangumbahan mengaku telah berupaya keras menekan pencurian terlur penyu. Keterlibatan masyarakat sekitar lahan konservasi pun sudah diupayakan, salah satunya dengan membentuk Kelompok Masyarakat Pengawas.
Tetapi mungkin masih ada saja orang yang memanfaatkan kelengahan petugas. Petugas harus mengawasi pantai yang gelap gulita. "Terkadang kan petugas juga mengantuk. Kalau memang ada orang dalam yang terlibat, kami akan selidiki," ujar Janawi.
Pantai yang harus diawasi oleh UPTD itu sepanjang 2,4 kilometer, dengan enam pos pengawas. Setiap pos dijaga oleh satu pengawas mulai dari sore hingga fajar. Pekerjaan mereka masih dibantu oleh tujuh orang pemandu. "Jumlah pengawas sebenarnya sudah cukup. Namun memang sulit mengawasi alam terbuka seperti ini, apalagi malam hari," lanjut Janawi.
Ia mengatakan, konservasi penyu di Pangumbahan adalah satu dari delapan lokasi. Tujuh lokasi lain ini dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jabar. Dibandingkan dengan Pangumbahan, wilayah kami lebih luas, yaitu sekitar 8.127,5 hektar. "Tetapi sayangnya jumlah petugas jauh lebih sedikit," kata Isep Mukti, Pejabat Fungsional Seksi Konservasi BKSDA Jabar.
Memperbaiki fasilitas pengawasan sepertinya membutuhkan waktu lama dengan birokrasi berbelit, juga menelan biaya besar. Tapi jangan sampai hanya demi menambah keperkasaan pria, penyu hijau harus kehilangan generasi selanjutnya... 

Sumber : Kompas.com

Rabu, 11 Mei 2011

Jangan Mau Dikalahkan Singapura-Malaysia

Lompat batu di Desa Bawomataluo, Nias Selatan, Sabtu (8/1/2011). Lompat batu menjadi salah satu andalan wisata budaya Nias.

Direktur Jenderal Pemasaran Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Sapta Nirwandar mengatakan, pariwisata Indonesia menunjukkan peningkatan. Namun di lingkup ASEAN, posisi pariwisata kita masih berada di bawah Malaysia dan Singapura. "Posisi pariwisata Indonesia masih di urutan ketiga setelah Malaysia dan Singapura," kata Sapta di Bali Safari & Marine Park, Kabupaten Gianyar, Bali, Jumat (6/5/2011).
Saat pemaparan materi pariwisata Indonesia pada Konvensi I Gabungan Industri Pariwisata Indonesia Bali (Konvensi I GIPI Bali), Sapta mengatakan, Indonesia dengan potensi alamnya yang begitu besar seharusnya dapat meraih urutan pertama. Sektor pariwisata adalah penghasil devisa nomor tiga di Indonesia setelah tambang dan migas. Hanya, lanjut Sapta, sektor pariwisata bukan isu menarik bagi politisi sehingga usaha untuk membuatnya optimal menjadi agak tersendat.
"Seharusnya sektor pariwisata mendapat perhatian utama karena memberikan sumbangsih yang besar bagi devisa negara. Hanya, saat ini Indonesia masih mengalami persoalan pelik, yaitu ketiadaan manajemen destinasi pariwisata yang baik," ujarnya.
Menurut Sapta, manajemen destinasi pariwisata merupakan persoalan krusial yang dihadapi Indonesia. Namun, pada tahun 2011, kita harus optimistis. Sebab, Asia Pasifik menempati urutan kedua terbesar setelah Eropa dari jumlah wisatawan internasional. Proyeksi pertumbuhan ada pada tujuh hingga sembilan persen.
Sapta berharap, pada bulan Juli sampai Agustus, kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia meningkat sebesar 10 persen. Dengan begitu, target kunjungan wisatawan sebesar tujuh juta jiwa ke Indonesia diharapkan terpenuhi.
"Jika meleset, maka target itu tak terpenuhi. Oleh karena itu, semua komponen pariwisata harus bergerak menjaga citra pariwisata Indonesia," katanya. 

Sumber : Kompas.com

Promosi Borobudur Membuahkan Hasil

Wisatawan mengunjungi Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Senin (25/4/2011). Pengelola candi menutup lantai 8,9, dan 10 karena masih dalam tahap pembersihan dari abu vulkanik Gunung Merapi.


Upaya PT Taman Wisata Candi Borobudur (TWCB) mempromosikan kepariwisataan Candi Borobudur ke luar negeri, terutama sejumlah negara anggota ASEAN, menunjukkan hasil positif selama awal 2011. "Hasilnya cukup positif, sedangkan promosi masih terus kami lakukan," kata General Manajer PT TWCB Pujo Suwarno di Borobudur, Jumat (6/5/2011).
Pada kesempatan itu ia tidak merinci jumlah wisatawan mancanegara (wisman), terutama berasal dari negara anggota ASEAN, yang sejak Januari hingga April 2011 bertandang ke Candi Borobudur. Namun, katanya, jumlah wisman ASEAN ke Candi Borobudur meningkat sekitar 10 persen sejak Januari hingga April 2011 dibandingkan dengan periode yang sama pada 2010. "Terjadi peningkatan sekitar 10 persen dibanding periode yang sama tahun lalu," katanya.
Pujo mengatakan, jumlah wisman berasal dari Malaysia ke Borobudur yang dibangun sekitar abad kedelapan masa pemerintahan Dinasti Syailendra itu menunjukkan angka tertinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya.
Posisi Indonesia sebagai Ketua ASEAN periode 2011 berpengaruh cukup besar terhadap perkembangan sektor kepariwisataan Candi Borobudur.
Ia mengatakan, berbagai pemangku kepentingan kepariwisataan Candi Borobudur mendapat peluang cukup besar untuk mengembangkan promosi, terutama di negara anggota ASEAN, terkait dengan posisi Indonesia sebagai Ketua ASEAN 2011.
Candi Borobudur yang juga salah satu warisan peradaban dunia itu, katanya, menjadi ikon penting kepariwisataan Indonesia. Pujo mengaku secara aktif mengikuti berbagai pameran kepariwisataan di sejumlah negara tetangga.
Ia menjelaskan, promosi juga melalui pertemuan TWCB dengan beberapa kepala sekolah berasal dari berbagai sekolah di luar negeri. "Kami mengumpulkan beberapa kepala sekolah dari berbagai sekolah-sekolah luar negeri, kemudian kami berikan semacam presentasi untuk promosi pariwisata dilengkapi dengan brosur-brosur Candi Borobudur," katanya.
Sejumlah promosi wisata Borobudur yang telah dilakukan TWCB, antara lain, pada Januari 2011 melalui Natas Fair di Singapura, pada Maret melalui Matta Fair di Malaysia, dan pada April melalui School Master Gathering di Singapura. 

Sumber : Kompas.com

Lasiana, Pantai Penuh Pohon Lontar

Pantai Lasiana di Kupang, NTT.

Deburan ombak yang bersahabat, matahari hangat, arus laut yang tenang, pasir putih, dan pohon lontar. Mungkin Anda mengernyit heran saat membaca kata-kata terakhir. Tak seperti pantai pada umumnya, Pantai Lasiana penuh dengan pohon lontar. Tentu saja ada pula pohon kelapa. Namun, pohon lontar menjadi pohon-pohon peneduh dominan di pantai ini.
Pantai Lasiana terletak di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Daya tarik lain pantai ini adalah pengunjung bisa melihat proses pembuatan gula lempeng khas penduduk Nusa Tenggara Timur. Gula lempeng dibuat dari air sadapan pohon lontar. Di perjalanan menuju Pantai Lasiana, Anda akan menemukan para pembuat gula lempeng.
Jika Anda berkunjung di hari kerja, pantai ini sangat sepi. Sebaliknya, pantai ini akan sangat padat oleh masyarakat yang berwisata bahari di akhir pekan. Karena karakter ombak dan arus laut yang cenderung tenang, pantai ini cocok sebagai tempat berenang atau sekadar bermain air. Apalagi air di Pantai Lasiana selalu tampak bening dasarnya yang berpasir putih.
Keluarga yang membawa anak-anak pun menjadikan pantai ini pilihan utama untuk berekreasi. Apalagi pantai yang tak berkarang, aman untuk anak-anak berlari-lari. Jika Anda gemar mencari kerang di pantai, bersiaplah kecewa. Di pantai ini sangat susah untuk menemukan kerang. Anda hanya akan menemukan cangkang-cangkang keong.
Datanglah di akhir pekan, para pedagang berlomba-lomba memanjakan lidah pengunjung. Aroma ikan bakar akan menyeruak di udara dan suara seruputan es kelapa muda mengundang air liur.
Salah satu waktu terbaik untuk datang melihat pemandangan atau mengambil foto adalah saat matahari tenggelam. Sementara di pagi atau siang hari, Anda bisa saja berkesempatan melihat para pemancing mencari ikan. Sensasi lain bisa Anda temukan jika datang di kala subuh untuk menyaksikan matahari terbit. Inilah keunggulan pantai Lasiana, Anda bisa melihat matahari terbit dan matahari terbenam.
Di Pantai Lasiana yang panjangnya mencapai dua kilometer ini terdapat beberapa pondok untuk bersantai. Sayangnya, beberapa pondok tampak tak terawat. Tumpukan sampah juga menjadi pemandangan yang merusak keindahan Pantai Lasiana.
Dulu, pantai ini pernah mengalami masa kejayaan sebagai obyek wisata favorit wisatawan asing. Namun, kondisi Pantai Lasiana perlahan-lahan mulai memprihatinkan. Walau begitu, pantai ini tetap menjadi favorit wisatawan lokal di Kupang. Kupang juga memiliki pantai-pantai lain yang indah. Salah satunya adalah Pantai Tablolong yang cocok untuk snorkeling.

Sumber : Kompas.com

Delapan Negara Ikut Festival Perahu Naga

Pemerintah Kota Padang memastikan delapan negara akan tampil dalam Festival Perahu Naga di Padang, 21-24 Juli 2011       "Ada delapan negara yang akan mengikuti festival Perahu Naga 2011," Kata Kabid Olahraga Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Kota Padang Warman di Padang, Rabu. "Negara yang sudah memastikan ikut dalam event tahunan dari Pemkot Padang tersebut adalah Hongkong, Cina Taipei, Taiwan, Malaysia, Laos, Thailand, Singapura, dan Flipina," katanya. Dikatakannya, jumlah peserta dari luar negeri kemungkinan akan bertambah mengingat panitia masih membuka pendaftaran sampai awal Juli.  Ia menambahkan, selain diikuti delapan negara tersebut Dispora sebagai pihak penyelenggara juga mengundang persatuan olahraga dayung yang ada di seluruh Indonesia.    
"Sejauh ini ada beberapa tim dari Persatuan olahraga dayung seluruh Indonesia yang sudah memastikan ikut dalam festival tersebut," katanya. 
Adapun PODSI yang sudah memastikan ikut dalam festival berasal dari daerah Sumut, Riau, Jambi, Banten, DKI Jakarta, Jabar, Jateng , Jatim, Sulsel, Kalbar, dan Kalteng.
Event yang bertajuk Padang Internasional Dragon Boat  (PIDB) IX 2011 itu juga direncanakan akan mengundang peserta dari beberapa kesatuan militer di Indonesia.  "Untuk kesatuan panitia mengundang tim dari Dolphin Marinir Jakarta, Kolinlamil Jakarta, Lanal Semarang, Lanal Panjang Lampung, Lantamal VII Tj. Pinang, Lantamal I Belawan, Lantamal IV Makasar, Guskamla Batam, Lanal Teluk Bayur, Lanud Tabing, Yon 133 Yudha Sakti, dan Polda Sumbar," katanya.      Untuk penyelenggaraan tahun ini pihak panitia menyediakan bonus hadiah sebesar Rp130 juta dan trofi bergilir Menpora Andi Mallarangeng.

Sumber : Kompas.com

Beningnya Suara Puteri-puteri Papua

Selain memiliki tubuh yang proporsional, berwawasan luas, dan berkepribadian menarik, Puteri Indonesia juga harus mampu menunjukkan talentanya yang lain. Oleh karena itu, pada karantina hari kedua Pemilihan Puteri Indonesia 2011 tingkat Papua diadakan malam unjuk bakat untuk memamerkan kemampuan masing-masing peserta.
Selama ini putera-puteri Papua dikenal dengan kemampuannya dalam berolahseni, dan para tamu yang menghadiri malam bakat pada Jumat (6/5/2011) lalu tersebut benar-benar dapat membuktikannya. Berbagai lagu daerah maupun tarian tradisional maupun tarian kreasi baru ditampilkan, memuaskan siapa saja yang baru pertama kali menyaksikan kesenian khas Papua secara langsung. Selain itu, beberapa peserta memamerkan kebolehannya berakting dan menjadi presenter berita.
Keempatbelas peserta malam itu mengenakan pakaian adat dari daerahnya masing-masing. Mereka bersaing menampilkan bakatnya, yang dikemas dalam suatu jalinan cerita. Wasti Ester Samori, peserta nomor urut 1 dari Kabupaten Waropen, muncul pertama kali menunjukkan gayanya sebagai narator. Ia berkisah bagaimana puteri-puteri Papua yang memiliki beragam bakat, dan tak sabar untuk memamerkannya.
Scholastika C. M. Werluken, wakil dari Jayapura misalnya, melantunkan lagu daerah Papua berjudul Ayambe. Lagu ini memiliki berbagai makna, bisa berarti perasaan bersyukur, selamat datang, hingga sampai ketemu lagi. Lain lagi Sri Wahyuni Y. A. Rumbarar, mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Cendrawasih. Wakil dari Kabupaten Keerom ini menyanyikan lagu Indonesia Tanah Air Beta yang dibawakan dengan gaya keroncong. Suara mereka begitu bening, tak salah lagi, memang inilah bakat khas puteri-puteri Papua.
Tifa, alat musik mirip gendang yang banyak dimainkan di Maluku dan Papua, juga dihadirkan malam itu, antara lain oleh Lian Willhelmina S. T. Bettay (Kabupaten Mimika) dan Herllyn Paula Mambai (Kabupaten Kepulauan Yapen). Herllyn memukul gendang sambil menyanyi dan menari tarian Bie dari Serui (ibukota Yapen).
"Tarian ini sudah biasa kami bawakan, karena sering dilakukan saat acara penyambutan tamu, atau pembayaran mas kawin," ujar lulusan FMIPA Universitas Cendrawasih ini.
Sementara itu, beberapa peserta lain menunjukkan kemampuannya berakting, bahkan membatik. Yang terakhir ini dipraktikkan secara simbolis oleh Nurlita Dianingsih, yang mewakili kota Jayapura.
"Saya baru belajar membatik dua minggu terakhir dengan Pak Jimmy Hendrick Afaar, pemilik batik Port Numbay. Soalnya kan peserta PPI harus bisa menunjukkan bakatnya di bidang lain. Saya sih baru bisa membatik di atas secarik kain kecil saja," tutur Lita, lulusan jurusan Biologi dari FMIPA Universitas Cendrawasih, pada Kompas Female.
Pada akhir acara, lima juri yang terdiri atas Kusuma Dewi (Yayasan Puteri Indonesia), Samudro Putranto (Senior Marketing Manager PT Mustika Ratu), Gems Saino (Area Manager PT Mustika Ratu wilayah Indonesia Timur), Audra Resania Suyono (Puteri Papua 2005), dan Della Retop (Dinas Pariwisata Provinsi Papua), memilih tiga besar finalis yang memiliki bakat terunik. Mereka adalah Herllyn, Elvina, dan Sri Wahyuni.
Della mengatakan, malam itu penampilan semua peserta dinilainya bagus. Tidak ada tipe kemampuan tertentu yang lebih diprioritaskan oleh tim juri. Baginya, semua peserta punya kelebihan dan kelemahan. Namun ia mengakui, ada beberapa peserta yang menunjukkan kemampuan yang menonjol. Penampilan Herllyn Mambai membawakan tari Bie mendapat pujiannya.
"Itu bagus, menari sambil memukul tifa. Dia benar-benar menguasai alat musik yang dia gunakan untuk mengiringinya menari," lanjut Della.
Ia sadar bahwa suara Herllyn terdengar timbul-tenggelam saat menyanyi sambil menari. Saat menyanyi sambil terus bergerak, pasti suara yang dihasilkan kurang maksimal. "Kalau dibantu dengan pengeras suara mungkin suaranya lebih jelas kedengarannya. Tetapi dia tampil bagus kok, dia menguasai tariannya," katanya lagi.
Elvina Wabiser, wakil dari Biak Numfor, juga mencuri perhatiannya. Dokter yang kini berpraktik di RSUD Ciamis, Jawa Barat, itu membawakan tari kreasi baru yang terkesan dinamis. Peserta lain yang juga mendapat pujian Della adalah Sri Wahyuni, yang menyanyikan lagu keroncong. Selama ini lagu keroncong biasa dinyanyikan orang Jawa, tetapi Sri berani memilih lagu yang cukup sulit dinyanyikan tersebut.
Dengan berbagai talentanya, Puteri Papua tentu dapat menyampaikan keragaman seni dan budaya khas Papua kepada masyarakat luas.

Sumber : Kompas.com

Pemerintah Janji Jaga Habitat Harimau

Dua dari 12 individu harimau Sumatera yang terakam kamera otomatis yang dipasang WWF dan PHKA di Bukit Tigapuluh, Jambi. 

Lokasi terekamnya 12 individu harimau oleh kamera otomatis WWF di bagian barat blok hutan Bukit Tigapuluh di Kabupaten Indragiri Hulu (Riau) dan Kabupaten Tebo, Jambi masuk ke dalam wilayah Ekosistem Terpadu RIMBA. Daerah tersebut merupakan lokasi demonstrasi penataan ruang berbasis ekosistem di Pulau Sumatera dan menjadi langkah tindak lanjut pencanangan Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Pulau Sumatera oleh empat kementrian dan 10 Gubernur Sumatera pada 2010.
"Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk melipatgandakan populasi harimau sumatera dengan melindungi kawasan yang menjadi habitat prioritas harimau sumatera dan menjaga ketersambungan habitat satwa dilindungi tersebut sebagaimana tercantum dalam Program Nasional Pemulihan Harimau," kata Direktur KKH, Bambang Novianto dalam siaran pers bersama WWF yang diterima Kompas.com, Selasa (10/5/2011).
Menurutnya, blok hutan Bukit Tigapuluh merupakan salah satu dari enam lansekap penting dunia untuk konservasi harimau sumatera. Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk melindungi lansekap-lansekap tersebut seperti tercantum dalam Program Nasional Pemulihan Harimau yang diumumkan pada International Tiger Conservation Forum di St. Petersburg, Rusia pada November 2010.
Sejak Maret 2011 Balai Taman Nasional Bukit Tigapuluh bekerjasama dengan WWF melalui Tiger Protection Unit dan Dinas Kehutanan Kabupaten Indragiri Hulu telah melakukan pengamanan sebagian kawasan koridor tersebut tepatnya di Hutan Lindung Bukit Batabuh dan Bukit Sosa dari ancaman degradasi dan perburuan satwa serta mencegah konflik manusia dengan harimau dan gajah.
Meskipun demikian, langkah tersebut harus diikuti tindakan yang lebih konkrit oleh semua pihak, termasuk pelaku bisnis, untuk menekan kehilangan hutan. Pekan lalu pelaku bisnis berkumpul di Jakarta pada Konferensi Tingkat Tinggi Internasional Bussiness for the Environment (B4E) yang menghasilkan deklarasi dukungan kepada pemerintah dalam upaya pengurangan deforestasi dan degradasi, termasuk komitmen untuk mendukung program yang perlindungan kawasan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. 

Sumber : Kompas.com

Selasa, 10 Mei 2011

Menembus Dinginnya Dieng...


Perjalanan tanpa rencana kali ini membawa saya ke dataran tinggi Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah. Dengan menumpang mobil travel dari Yogyakarta (tarif Rp 40.000), Wonosobo bisa ditempuh dalam waktu sekitar tiga jam. Saya pergi berdua dengan seorang teman, dia adalah satu-satunya yang mengiyakan ajakan mendadak saya untuk jalan-jalan. Teman-teman lain absen tak bisa ikut. Wajar saja, saya memang baru mengajukan ajakan itu di malam sebelumnya.
Mobil travel berhenti di perempatan PDAM Wonosobo dan dari situ kami naik bus jurusan Dieng. Sebenarnya bus itu juga bisa ditemukan di terminal, hanya saja lokasi terminal lebih jauh dan biasanya harus menunggu bus ngetem dan akan memakan waktu lebih lama. Tarif umum Wonosobo-Dieng adalah Rp 7.000 saja, itu kata teman saya yang pernah tinggal beberapa lama di Dieng. Akan tetapi, wisatawan harus berhati-hati karena kondektur biasanya menaikkan tarif semena-mena kepada wisatawan atau siapapun yang terlihat seperti pendatang.
Satu jam kemudian, kami sampai di Dieng. Ada berbagai pilihan penginapan yang harganya beragam, di antaranya bahkan sangat terjangkau. Saya memilih Hotel Asri yang terletak di depan Masjid Jami Baiturrohman, Dieng. Jangan bayangkan hotel bintang lima, hotel ini merupakan bangunan rumah lama namun bersih dan layak tinggal. Harga per malamnya yaitu Rp 60.000 untuk kamar dengan kamar mandi luar dan Rp 75.000 dengan kamar mandi dalam. Kami memilih yang kedua.
Telaga Warna
Telaga Warna menjadi tempat wisata pertama yang kami kunjungi di Dieng. Jaraknya sekitar 500 meter dari hotel sehingga kami memutuskan untuk berjalan kaki saja. Setelah berjalan beberapa saat, kami melihat sebuah pos kecil dan tanda panah bertuliskan “Telaga Warna”, maka kami pun menuju ke sana. Saya sempat berpikir, “Kok tempat masuknya aneh ya? Tidak ada papan ‘selamat datang’ atau pintu masuk sebagaimana di tempat wisata biasanya”. Lalu di situ ada seorang Bapak yang memberi tahu bahwa untuk masuk Telaga Warna kami harus membayar Rp 5.000.
Memasuki kawasan Telaga Warna, awalnya kami kecewa. Tempatnya seperti tidak terurus, dan sebagian besar tanahnya becek, ditambah bau belerang dari batuan yang ada di situ. Kami berdua saling memandang dan…mencoba tertawa! Menikmati hal-hal tidak mengenakkan selama traveling adalah sebuah seni tersendiri. Akhirnya kami berfoto dan mencari angle sebagus mungkin supaya tempat ini tidak terlihat terlalu mengecewakan. Ditambah cuaca kurang bersahabat, suasana menjadi makin suram.
Ternyata… tempat kami masuk tadi memang bukan area yang biasa dikunjungi wisatawan. Dari pintu masuk, seharusnya kami belok kanan, eh kami tadi malah belok kiri. Ternyata (lagi) bagian lain dari telaga itu memang indah. Akhirnya kami duduk-duduk sambil menikmati pemandangan Telaga Warna yang telaganya menunjukkan gradasi warna hijau yang berbeda.
Keluar dari Telaga Warna, kami baru tersadar bahwa ada pintu lain yang memang resmi untuk keluar-masuk wisatawan, dengan tarif yang juga Rp 5.000 (jadi yang tadi tempat kita masuk itu apa dong?). Berhubung perut kami sudah demo minta makan, kami cap-cip-cup memilih tempat makan. Kami memesan nasi goreng yang rasanya biasa-biasa saja seharga Rp 10.000. Tapi untuk ukuran tempat wisata, harganya tidak terlalu selangit kok.
‘Mandi Asap’ di Kawah Sikidang
Tujuan berikutnya adalah Kawah Sikidang. Hujan rintik-rintik ketika kami berjalan menuju loket Telaga Warna yang tidak jauh dari situ. Tujuannya adalah hendak bertanya kepada petugas tentang tarif ojek menuju Kawah Sikidang. Sengaja kami tidak bertanya tukang ojek, karena biasanya mereka menawarkan harga yang tak wajar (tips: tanyalah tarif pada penduduk lokal).
Tiba-tiba ada seorang Bapak berkumis dan berjaket tebal mendekati kami. Ia menawarkan naik motornya ke kawah. Dia minta Rp 10.000, tapi kami menawar dengan alasan menurut petugas loket tarifnya hanya Rp 5.000. Akhirnya dia setuju dengan harga itu asalkan langsung dibonceng berdua, jadi semotor bertiga. Jadi intinya satu motor tetap Rp 10.000. Ya sudahlah kami setuju.
Melewati pos masuk Kawah Sikidang, kami tidak berhenti untuk membayar karcis. Saya penasaran dan bertanya, “Kok nggak berhenti, Pak?” Lalu dia menjawab, “Tadi saya bilang mbak-mbak ini saudara saya yang sedang KKN (Kuliah Kerja Nyata) di sini, jadi ndak usah bayar. He-he.. Kalau ada yang bertanya bilang saja Mbak ini saudaranya Pak Mustaqim.” Akhirnya sejak detik itu kami resmi menjadi saudara Pak Mustaqim. He-he…
Sesampainya di kawasan kawah, kami turun dari motor. Pak Mustaqim memberikan nomor ponselnya dan menyarankan supaya nanti SMS saja kalau kami sudah mau pulang. Nanti dia akan menjemput lagi ke sini dan mengantar sampai hotel dengan tarif yang sama. Kami pun setuju. Lalu kami bersenang-senang dan ‘mandi asap’ di Kawah Sikidang. Brrrr…udaranya super dingin... Saya kurang persiapan, pergi ke Dieng tanpa membawa jaket tebal, kaus kaki, dan sarung tangan. Saya hanya mengandalkan sebuah cardigan yang sedikit menghangatkan.
Waktu menunjukkan hampir pukur 5 sore ketika akhirnya kami dijemput lagi oleh Pak Mustaqim. Di perjalanan pulang, ia bertanya apakah besok pagi kami mau melihat sunrise. Kami benar-benar tidak punya informasi mengenai hal itu sebelumnya. Maka ia menawarkan untuk antar-jemput lagi besok. Katanya justru turis-turis asing yang menginap di Dieng itu salah satu tujuannya ingin melihat matahari terbit di Puncak bernama Sikunir. Kami pun bersemangat dan langsung setuju.
Berburu Sunrise di Puncak Sikunir
Mampir di Telaga Cebong Udara di Dieng benar-benar dingin. Jangankan untuk mandi, berwudhu saja menjadi perjuangan tersendiri. Setiap air menyentuh kulit, rasanya ngilu seperti ditusuk-tusuk. Pagi itu saya terbangun sebelum adzan subuh. Ponsel saya berbunyi, ternyata itu adalah panggilan dari Pak Mustaqim. Katanya pagi itu langit cerah dan kita jadi menuju Puncak Sikunir. Senang sekaligus prihatin mengingat outfit yang tidak mendukung. Akhirnya saya pinjam kaus kaki teman, lalu mengenakan pakaian beberapa lapis. Setelah selesai solat Subuh, Pak Mustaqim sudah menunggu di depan hotel.
Saya agak lupa berapa lama waktu yang ditempuh dari hotel ke Sikunir. Tapi yang jelas membayar Rp 30.000 per orang untuk perjalanan itu sangat sebanding dengan apa yang saya dapatkan. Lagi pula lokasinya cukup jauh dan medannya agak sulit. Jalannya jelek dan naik-turun. Sepanjang perjalanan di motor, kaki saya rasanya mati rasa, kaus kaki tipis itu tidak cukup menghangatkan.
Kami sampai di area pendakian sekitar jam lima lewat sedikit. Pak Mustaqim menemani kami naik sampai ke Puncak. Hmm.... lumayan nih melatih kaki lagi setelah lama tidak mendaki gunung. Sesampainya di Puncak, selalu ada sensasi yang luar biasa. Pemandangannya sangat indah. Dari Puncak Sikunir, terlihat Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro, serta pemukiman di mana terlihat rumah-rumah dan perkebunan membentang. Kami harus menunggu beberapa saat di Puncak sampai matahari muncul dengan cantiknya.
Sekitar pukul 7 kami turun dari puncak untuk menuju ke telaga Cebong yang terletak tak jauh dari jalan menuju puncak. Kami sekalian berjalan kaki ke sana karena kebetulan Pak Mustaqim memarkirkan motornya di dekat telaga. Udara pagi yang sejuk dicampur sinar matahari yang belum lama terbangun, membuat udara dingin Dieng sedikit terhangatkan. Telaga Cebong memantulkan bayangan dari pepohonan dan bukit-bukit di sekitarnya, melengkapi keindahan pagi itu.
Candi Arjuna
Setelah merasa cukup duduk-duduk dan berfoto, kami melanjutkan perjalanan ke Candi Arjuna. Pak Mustaqim mengantarkan kami ke sana kemudian ia langsung pulang karena jam delapan ia harus bekerja. Matahari sudah mulai terik ketika kami sampai di candi. Pak Mustaqim berpamitan setelah ia menunjukkan kepada kami sebuah rumah makan di sekitar candi agar kami bisa sarapan dahulu. Kami mengucapkan terima kasih dan langsung memesan makanan.
Karena kami datang masih cukup pagi, candi pun masih terbilang sepi. Hanya ada beberapa penduduk lokal yang berjalan-jalan pagi di sana dengan membawa serta anak-anaknya yang masih kecil. Kami pun bisa dengan leluasa mengeksplor candi tersebut sampai berfoto narsis.
Telaga Menjer
Kami beranjak meninggalkan Dieng setelah dzuhur. Tujuan selanjutnya adalah Telaga Menjer yang terletak di desa Menjer, 12 kilometer dari Dieng ke arah Wonosobo. Menuju Telaga Menjer, kami mendapat pengalaman yang tidak menyenangkan. Seperti biasa, kami sudah bertanya ke penumpang lain di bus berapa tarif yang harus kami bayar sampai di Pasar Garung. Katanya tarifnya hanya Rp 2.000. Dan lagi-lagi kondektur menaikkan tarif, kali ini bahkan tiga kali lipat dari yang sewajarnya.
“Lho, kok kembaliannya cuma segini? Kan harusnya cuma bayar 2 ribu,” protes saya.
Si kondektur terlihat kaget karena saya tahu tarif yang sebenarnya. Lalu dia berdalih, “Yah..itu kan buat penumpang yang biasa langganan naek bus setiap hari.” Alasan basi.
Begitu turun di Pasar Garung, saya meminta uang kembalian lagi dan akhirnya ia memberikan saya beberapa lembar uang yang setelah dihitung jumlahnya masih kurang dari yang seharusnya. Tapi bus itu mulai beranjak pergi. Saya dan teman saya hanya bisa mendoakan semoga si kondektur segera kembali ke jalan yang benar. Baiklah, mari kita lupakan kondektur itu. Sekarang kita menuju ke Telaga Menjer. Kami diberi tahu ibu-ibu untuk naik angkot berwarna biru menuju telaga, katanya tarifnya nggak lebih dari Rp 2.000. Untunglah kali ini kondekturnya jujur. Tarif untuk sampai ke telaga adalah Rp 1.500 per orang (kaget zaman sekarang masih ada tarif angkot semurah itu).
Tarif masuk Telaga Menjer cukup Rp 2.000 saja. Tempatnya indah, tetapi lebih sepi pengunjung dibandingkan Telaga Warna di Dieng. Sesampainya di sana, kami disambut bapak-bapak berperahu yang menawarkan untuk menyusuri telaga dengan tarif Rp 5.000 saja. Kami langsung setuju tanpa protes karena menganggap itu harga yang wajar. Wah udaranya sejuk, suasananya tenang, hanya terdengar suara air yang gemericik dilewati perahu. Sayang ya tempat-tempat bagus di Indonesia seringkali kurang terdeteksi dan kurang promosi. Jangankan turis asing, turis lokal saja banyak yang tidak tahu.
Mencari Oleh-oleh Khas Wonosobo
Hujan turun rintik-rintik ketika kami baru turun dari perahu. Kami pergi ke toko oleh-oleh bernama “Aneka” yang direkomendasikan oleh teman saya yang orang Wonosobo. Ternyata oleh-oleh makanan di sana cukup lengkap dan semuanya menggiurkan. Makanan Wonosobo memang enak-enak, dari mulai keripik dan berbagai cemilan dari kentang sampai manisan carica yang paling terkenal. Carica sendiri adalah buah yang masih saudara dengan pepaya. Pohonnya pun mirip pohon pepaya tetapi dengan ukuran lebih kecil. Saya baru pertama melihat langsung pohonnya di dekat Telaga Cebong. Berhubung uang sudah pas-pasan, saya hanya membeli beberapa gelas carica dan cemilan sebagai oleh-oleh untuk anak kost.
Satu lagi yang sayang untuk dilewatkan di Wonosobo adalah mencicipi Mie Ongklok. Saya yang saat itu masih agak kenyang, hanya mencicipi mie yang dibeli oleh teman saya. Ternyata mie tersebut sangat enak. Seperti mie ayam tetapi dengan sayuran lebih banyak dan dicampur sate ayam dengan bumbu kacang. Benar-benar mantap dimakan panas-panas. Kuahnya juga sangat berasa, bercampur dengan rasa kacang dari bumbu sate.
Selesai makan, teman saya bilang, “Mbak, katanya kenyang? Tapi makannya banyak…”
Saya baru tersadar.. Oh iya ya… sepertinya kegiatan icip-icipnya sampai setengah mangkok. Setelah kenyang, saatnya pulang ke Jogja. Hujan menemani kepulangan kami. Perjalanan ke Dieng ini sungguh tak terlupakan.

Sumber: Kompas.com

Koridor Habitat Gajah Dirambah


Habitat gajah yang berfungsi sebagai koridor antara Pusat Latihan Gajah (PLG) Seblat dan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di Kabupaten Bengkulu Utara dirambah. Hal ini dapat menyebabkan tingginya konflik satwa, terutama gajah dengan manusia.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu Amon Zamora, Kamis (5/5/2011), mengatakan, sudah ada sekitar 500 keluarga yang menghuni koridor gajah tersebut. Sebagian koridor yang berupa hutan tersebut sudah ditanami kelapa sawit.
"Kami hanya bisa mengimbau perambah untuk keluar dari koridor itu sebab konflik antara satwa dan manusia di lokasi tersebut sangat mungkin terjadi," kata Amon.
Amon juga menyayangkan Pemerintah Kabupaten Bengkulu Utara yang tidak berbuat apa-apa terhadap perambahan di koridor gajah itu.
Apabila koridor gajah sudah sepenuhnya dikuasai perambah, habitat gajah semakin sempit, hanya di kawasan PLG Seblat yang seluas 6.865 hektar. Hal ini bisa menyebabkan seringnya konflik gajah dengan manusia terjadi, apalagi PLG Seblat sudah dikelilingi kebun sawit milik beberapa perusahaan swasta.
Selama ini koridor seluas lebih kurang 12.000 hektar itu merupakan jalur gajah dan satwa lainnya dari PLG Seblat, seperti harimau dan beruang madu, untuk mencari makan ke wilayah TNKS. Keberadaan permukiman di koridor itu tentu menjadi penghalang satwa tersebut ketika menuju TNKS.
Saat ini PLG Seblat masih berstatus hutan produksi dengan fungsi khusus. Hutan seluas 6.865 hektar itu merupakan habitat sekitar 70 gajah sumatera liar dan lebih kurang 18 gajah binaan.
Sebenarnya, sejak tahun 2004 BKSDA sudah mengusulkan peningkatan status PLG Seblat dari hutan produksi dengan fungsi khusus menjadi suaka margasatwa. Akan tetapi, upaya tersebut terganjal tiadanya rekomendasi dari Pemerintah Provinsi Bengkulu dan Kabupaten Bengkulu Utara. Adapun rekomendasi dari Pemerintah Kabupaten Muko Muko sudah sejak lama diberikan.
Koordinator PLG Seblat, Supartono, menambahkan, pada tahun 2008 Pemprov Bengkulu pernah memberikan rekomendasi, tetapi setahun kemudian rekomendasi tersebut dicabut. 
Kematian gajah
Tekanan yang besar terhadap habitat gajah di PLG Seblat selama ini meningkatkan risiko konflik gajah dengan manusia. Lingkungan hutan yang banyak berubah pun mengganggu kelangsungan hidup gajah sumatera di PLG Seblat.
Selama Maret 2011, misalnya, empat gajah liar dari PLG Seblat mati keracunan pupuk. Satu dari empat bangkai gajah tersebut ditemukan di Hutan Produksi Terbatas (HPT) Lebong Kandis atau lokasi perkebunan sawit PT Sapta Buana (Alno Group).
Adapun tiga bangkai gajah lainnya ditemukan di areal hutan peruntukan lain seluas 500 hektar yang terletak antara PLG Seblat dan PT Sapta Buana tanggal 31 Maret 2011.
Profauna Bengkulu mencatat, kematian empat gajah tersebut menambah daftar gajah sumatera yang mati sejak 2004. Pada kurun 2004-2007 ada tujuh gajah yang mati. Kemudian pada tahun 2009 ada dua gajah yang mati. Setahun kemudian satu gajah mati lagi. Tahun ini, hingga bulan Maret telah empat gajah yang mati.

Sumber : Kompas.com

Ikan Anakan di Wakatobi Tereksploitasi

Taman Nasional Laut Wakatobi di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, memiliki pemandangan alam bawah air yang eksotis, Rabu (4/5). Hal ini harus didukung dengan pengaturan perikanan tangkap yang ramah lingkungan untuk menjaga biodiversitas alam salah satu segitiga                   karang dunia itu.

Informasi minim dan ketiadaan pengaturan penangkapan ikan yang baik membuat sumber daya hayati laut di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, terancam. Bertahun-tahun, ikan belum dewasa atau juvenile ditangkapi. Kini, nelayan beralih ke budidaya rumput laut.

Tahun 2007-2010 warga bersama Operation Wallacea Trust mengecek perikanan Wakatobi. Hasilnya, 80 persen tangkapan ikan belum dewasa. Bahkan, 100 persen tangkapan ikan kakatua merah belum dewasa.
Tangkapan teripang menurun kualitasnya. Beberapa tahun lalu teripang super berisi tiga ekor per kilogram. Kini, 150 ekor per kg. Lokasi penangkapan pun makin jauh ke luar pulau.
"Ternyata cara kami salah dan harus diubah. Kami orang pulau bergantung pada sumber daya laut. Kalau laut habis, habis pula kami," kata Ketua Forum Kaledupa Taudani (Forkani) La Beloro di Kaledupa Wakatobi, Kamis (5/5/2011).
Koordinator Program WWF, Sugiyanta, menjelaskan, penangkapan juvenile berpotensi menimbulkan kelangkaan ikan karena ikan ditangkap sebelum sempat bertelur. ”Seharusnya, beri kesempatan ikan untuk bertelur sekali dalam hidup,” katanya.
Penangkapan ikan juvenile karena nelayan sulit menangkap ikan dewasa di perairan setempat. Penangkapan dan permintaan ikan berlebihan membuat jumlah tangkapan tak terkontrol. Kondisi itu gambaran umum perikanan tangkap di Wakatobi.
Rumput laut
Kini, nelayan Kaledupa mulai budidaya rumput laut yang dikenalkan tahun 1990-an. Mereka swadaya memasang tali apung dan dasar untuk menebar benih rumput laut di sekitar pulau. Di Kaledupa dan Derawa, tali-tali apung tersebar hingga 1 kilometer dari garis pantai.
Menurut Kepala Bidang Pengembangan Perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi Bahrul Haer, pihaknya berusaha mengatur perikanan tangkap setempat agar ramah lingkungan. Untuk menghindari penangkapan ikan juvenile, nelayan diminta tak memakai mata jaring berukuran di bawah 1 inci. "Kami sarankan minimal 2 inci. Pelaksanaannya kembali ke masyarakat. Kami sulit mengawasi nelayan satu per satu," ujarnya.
Kabupaten Wakatobi seluas 1,39 juta hektar ada di kawasan Taman Nasional Laut Wakatobi. Pemerintah daerah mendorong budidaya rumput laut karena permintaannya sangat menjanjikan dan lebih ramah lingkungan. Setiap tahun ratusan ton rumput laut kering dijual ke Kabupaten Bau-bau seharga Rp 9.000 per kg.


Sumber : Kompas.com


Harapan Hidup dari Rumput Laut




Pembudidaya rumput laut di Desa Laemanta, Kecamatan Kasimibar, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, menebar bibit untuk ditanam di Teluk Tomini, akhir Februari 2011

Mengarungi perairan Pulau Kaledupa dan Wangi-wangi Kabupaten Wakatobi, tali-tali sepanjang ratusan meter yang merangkai bibit rumput laut dengan mudah dijumpai. Bibit yang terangkai dengan tali itu menjadi simbol harapan hidup, tak cuma bagi masyarakat lokal tetapi juga bagi ekosistem laut.

Bagi Saridi, warga Derawa, misalnya, rumput laut kini menjadi sumber penghasilan utama. Dari rumput laut, Saridi bisa menyekolahkan keempat anaknya. "Satu anak saya sekarang kuliah di Makassar. Yang lain masih SMP dan SD. Bayar biaya sekolah dari rumput laut ini.  Sekali panen rumput laut bisa dapat
500 kg sampai 1 ton. Kita jual ke Bau-Bau biasanya, harganya Rp 8.000 per kg," tuturnya.
Rumput laut dijual setelah dikeringkan secara alami selama 3-4 hari menggunakan sinar matahari. Dari Bau-bau, rumput laut akan dikirim ke Surabaya.  Ketua Forum Kaledupa Taudani (Forkani) La Beloro menuturkan rumput laut biasanya panen setelah 45 hari. Kalau sudah dijemur nanti ada pengumpul yang menampung.
Dari rumput laut, uang yang dihasilkan bahkan lebih tinggi dari hasil penangkapan ikan. Budidaya rumput laut di Wakatobi dijalankan sepanjang tahun. Namun, warga mengaku bahwa saat terbaik untuk penanaman adalah saat musim timur.  Pada saat itu, panen bisa lebih besar dan dikeringkan dalam waktu cepat. Kala musim barat, biasanya jumlah hasil panen menurun.
Untuk membudidayakan rumput laut, warga menggunakan wilayah laut yang sesuai. Setiap warga memiliki area menanam sendiri yang diklaim menjadi hak milik berdasarkan siapa yang memakainya terlebih dahulu. Warga biasanya menentukan area dengan melihat arus dan adanya lamun. Saat ini, beberapa warga mengaku bahwa lahan budidaya sudah penuh.
"Kalau orang baru mau menanam sudah susah. Bisa juga beli tapi mahal, bisa 7 juta untuk satu area," kata Saridi.
Cara lain, warga bisa minta ijin atau sewa di area orang lain, namun biasanya tak diijinkan untuk menanam dalam jumlah banyak. Rumput laut sebenarnya sudah dibudidayakan masyarakat Wakatobi sejak lebih dari 10 tahun lalu. Namun, saat dipandang belum menjanjikan, banyak warga masih menggantungkan pada hasil penangkapan ikan. Tak jarang, praktek penangkapan yang merusak dilakukan untuk meningkatkan pendapatan.
"Dulu kita banyak pakai bom dan bius," ungkap Beloro.
Juvenile ikan atau ikan yang belum dewasa kadang juga ditangkap sehingga akhirnya nelayan sulit mendapat ikan. "Pada tahun 2004, kita merasa hampir tidak ada ikan," lanjut Beloro.
Sebuah survei pada tahun 2007-2010 juga menyebut bahwa 80 persen ikan tangkap adalah juvenile. Praktek perusakan lingkungan yang sebelumnya juga marak adalah penambangan karang. Koordinator Progran WWF Wakatobi Sugiyanta mengatakan, "Beberapa tahun kemarin sempat teridentifikasi 72 penambang. Dari jumlah tersebut, 30 di antaranya murni penambang, sementara yang lain hanya sampingan."
Menurut Sugiyanta, ada 3 faktor yang menyebabkan warga menambang. "Pertama karena tidak punya mata pencaharian lain. Kemudian karena lebih lebih mudah mendapat cash dan adanya permintaan," ucap Sugiyanta.
Kini, jumlah penambang memang sudah menurun, tapi belum benar-benar habis. Sugiyanta mengatakan, budidaya rumput laut bisa menjadi suatu alternatif mata pencaharian. Lewat budidaya rumput laut, tekanan terhadap alam akibat eksploitasi ikan dan karang berkurang. Hal ini juga memberi harapan hidup pada ekosistem. Budidaya rumput laut sendiri kini menyisakan tantangan. Bantuan pemerintah kadang tidak tepat.
"Kita tidak butuh tali, tapi pemerintah memberi kita tali. Yang kita butuhkan adalah benihnya yang bagaimana, lalu kepadatannya, kondisi eksosistem yang bagus bagaimana, itu kita buta," kata Beloro.
Menurutnya, yang diperlukan saat ini adalah pengetahuan, terutama pada cara budidaya yang tepat, cara mengatasi hama dan menentukan saat yang tepat untuk mulai menebar bibit. "Sampai sekarang belum ada bantuan seperti itu," kata Beloro yang ditemui dalam media trip bersama WWF Kamis (5/5/11) lalu.
Sementara itu, pembudidaya rumput laut dari Dewara, Jumani mengatakan, "Bantuan pemerintah sering salah sasaran. Pernah ada bantuan pengolahan pasca panen, tetapi yang dilatih justru bidan dan orang lain yang bukan pembudidaya. Seharusnya kita yang dilatih."
Hingga saat ini, belum juga ada bantuan pengering rumput laut. Ini mengakibatkan sulitnya pembudidaya saat harus mengeringkan di musim hujan. "Saat musim hujan, pengeringannya bisa sampai 10 hari," kata Jumani.
Akibat terlalu lama dalam kondisi basah, rumput laut yang dipanen kadang justru rusak. Bantuan untuk meningkatkan hasil budidaya rumput laut diperlukan sehingga benar-benar bisa memberikan penghasilan bagi warga. Dengan memiliki alternatif, tekanan pada ekosistem laut bisa dikurangi sehingga membantu upaya konservasi. Ini sangat krusial dengan status Wakatobi sebagai Taman Nasional. Warga Kaledupa yang terbina dalam Forkani kini sudah memiliki kesadaran pentingnya pengelolaan sumber daya alam.
"Sumber daya alam sangat terbatas. Kalau habis akan berdampak pada kehidupan komunitas. Jika kehilangan alam, komunitas akan keluar, tapi harus kemana. Pindah ke tempat lain, bisa diusir," kata Beloro. Bantuan yang tepat untuk meningkatkan hasil budidaya bisa membantu menyalakan semangat pelestarian itu.

Sumber : Kompas.com

Perusakan Karang Masih Ancam Wakatobi

Kehidupan Suku Bajo di Desa Mola, Kecamatan Wangi-Wangi Selatan, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Selasa (3/5/2011). Di tempat ini sulit menyebut warga Bajo sebagai suku pengembara. Sebagian warga suku Bajo di Desa Mola tidak lagi hidup di atas laut lepas. Mereka sudah tinggal di dalam rumah berdinding batu bata dan beratap seng
 
 
Aktivitas penambangan karang di Wakatobi masih menjadi ancaman bagi kelangsungan ekosistem laut. Meski jumlah penambang sudah turun, beberapa masih beroperasi, di antaranya yang berasal dari Wangi-wangi.
Koordinator Program WWF Wakatobi Sugiyanta mengatakan, beberapa tahun lalu teridentifikasi 72 penambang karang, 30 di antaranya murni sebagai penambang dan sisanya sebagai sampingan.
"Setelah pembinaan jumlahnya sudah menurun tapi masih ada," kata Sugiyanta. Menurut Sugiyanta, faktor yang mendorong aktivitas penambangan adalah tak adanya pilihan mata pencaharian, lebih mudah mendapat uang dan adanya permintaan dari pasar.
Penambangan kadang juga dilakukan untuk kebutuhan pembangunan pribadi. Aktivitas penambangan biasanya dilakukan dengan linggis dan mengganggu proses budidaya rumput laut. Sugiyanta mengatakan, penambangan membuat air menjadi keruh sehingga mengganggu kesuburan rumput laut yang dibudidayakan warga lain.
Meski penambangan karang jelas dilarang, namun penting menemukan upaya strategis untuk mengajak warga berhenti melakukannya, tak bisa langsung melarang. "Kita sedang upayakan alternatif mata pencaharian, seperti budidaya rumput laut dan ekoturisme," kata Sugiyanta.
Menurut Sugiyanta, jika dibiarkan, penambangan karang akan berdampak negatif pada ekosistem dan warga sendiri. "Dampaknya adalah penurunan jumlah ikan karang. Secara tidak langsung, nanti juga akan berdampak pada kehidupan nelayan," ucap Sugiyanta.
Kepala Bidang Pengambangan Perikanan DKP Wakatobi Bahrul Haer mengatakan, aktivitas penambangan yang juga mengganggu adalah penambangan pasir. Menurutnya, aktivitas penambangan pasir justru lebih sulit diatasi.
"Kalau karang dilarang, untuk membangun masih bisa datangkan batu dari darat. Tapi kalau pasir, masih perlu dicari solusinya," kata Bahrul. Ia mengatakan saat ini masih mengupayakan cara penyelesaiannya, termasuk upaya mendorong perikanan tangkap ramah lingkungan.
Wilayah Wakatobi yang terdiri dari Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongo adalah kawasan Taman Nasional Laut. Penyelesaian masalah lingkungan medorong suksesnya program konservasi wilayah yang masuk dalam kawasan Segitiga Karang Dunia itu.

Sumber : Kompas.com

Duh, Hutan Penelitian Juga Terus Dibabat

Belasan hektar hutan di kecamatan Binuang Polewali Mandar terbakar sejak Minggu (8/0/2011. warga cemas lantaran titik api hanya berjarak beberapa meter dari lokasi pemukiman mereka.
 
Hutan penelitian Southeast Asia Regional Centre for Tropical Biology terus dibakar dan dirambah secara liar. Aktivitas itu dilakukan setiap hari, tapi oleh pelaku dinilai sebagai tindakan legal.
Pantauan Kompas di hutan Seameo Biotrop, Desa Pasir Mayang, Kecamatan VII Koto, Kabupaten Tebo, Jambi, seluas 2.700 hektar, pada 6-7 Mei 2011, pembakaran berlangsung di sejumlah titik dengan luas lebih dari 20 hektar.
Api membubung tinggi dan cepat meluas karena suhu normal pada siang itu—dalam radius 700 meter dari lokasi—mencapai 40 derajat celsius dan angin bertiup kencang.
Pembakaran lahan juga marak terjadi di hutan sekitarnya, seperti hutan produksi eks hak pemanfaatan hutan PT Industries et Forest Asiatiques, hutan tanaman industri PT Lestari Asri Jaya, dan sebagian areal milik masyarakat.
Peneliti lokal di Biotrop, Miswandi, mengatakan, lahan yang dibakar telah diklaim pelaku dengan membayar sejumlah uang kepada oknum desa. Lahan dibeli dari oknum perangkat desa sekitar Rp 2 juta per hektar. Setelah dikapling, lahan dibakar untuk ditanami sawit atau karet.
Kepala Seksi Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan Tebo Sumarjo membenarkan maraknya aktivitas pembakaran dan perambahan hutan di Tebo. "Namun, sulit menindak pelaku karena aktivitas itu berlangsung di banyak lokasi," ujarnya.
Biotrop pada 1990-an merupakan hutan hujan dataran rendah dengan koleksi vegetasi serta satwa sangat lengkap. Hutan primer ini dilengkapi laboratorium penelitian alam untuk analisis vegetasi dan laboratorium kultur jaringan. Pada masa itu, banyak peneliti asing memanfaatkan hutan Biotrop untuk penelitian.
Biotrop rusak sejak penjarahan pada 2003. Tidak sedikit hutan yang gundul karena dicuri kayunya. Laboratorium penelitian yang dibangun sejak 1984 itu kini hanya menyisakan tonggak-tonggak penyangga.
Seameo Biotrop seluas 2.700 hektar merupakan hutan dan laboratorium penelitian yang dibangun PT Industries et Forest Asiatiques selaku pemilik HPH. Penelitian untuk menumbuhkan model dinamika pertumbuhan hutan hujan dataran rendah mengkaji aspek iklim mikro hutan sebagai parameter lingkungan yang memengaruhi kondisi pertumbuhan vegetasi dan hewan, serta mencermati perubahan jangka panjang berupa suksesi atau degradasi hutan. Kini penelitian sulit dilakukan karena hutan hampir habis.
Segera hentikan
Walhi Aceh mendesak skema pengurangan karbon dalam pengelolaan hutan di Aceh dihentikan. Skema ini hanya jadi lahan permainan guna mencari keuntungan pihak yang terlibat di dalamnya. Kasus transaksi saham oleh Carbon Conservation dengan East Asia Minerals Corporation dan hutan Aceh sebagai asetnya adalah salah satu bukti permainan dalam urusan karbon hutan.
"Walhi sejak awal sudah menduga bakal seperti ini. Apa pun bentuk skema pengurangan karbon hutan selalu berujung pada permainan bisnis yang menguntungkan pihak tertentu. Jadi, kami meminta semua skema karbon dihentikan," ujar Direktur Walhi Aceh Zulfikar.

Sumber : Kompas.com

Analisis DNA Deteksi Asal-usul Suku Bajo

Bocah Suku Bajo bermain sampan di Desa Mola, Kecamatan Wangi-Wangi Selatan, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara,
 
Universitas Haluoleo (Unhalu), Kendari, Sulawesi Tenggara akan bekerja sama dengan Université de La Rochelle, Perancis untuk meneliti DNA Suku Bajo. Bulan September 2011 nanti, MoU kerja sama akan ditandatangani dan akan segera dilanjutkan dengan proses penelitian.
"Benar kita lakukan kerjasama itu. Rencananya nantu bulan sembilan akan ditandatangani MoU lalu mulai penelitian. Akan diambil sampel air liur nanti untuk analisis DNA," kata Abdul Manan, Dosen Fakultas Pertanian Unhalu yang terlibat dalam proyek penelitian Suku Bajo.
Abdul mengemukakan, ada beberapa kerja sama penelitian tentang Suku Bajo, di mana penelitian DNA suku tersebut adalah salah satunya. Penelitian akan melibatkan peneliti Perancis yang juga seorang linguis Bahasa Indonesia, Philippe Grangé.
"Penelitian ini akan membantu mengetahui asal usul Suku Bajo," kata Abdul saat dihubungi lewat telepon Minggu (8/5/2011).
Selama ini, ada beragam versi yang menerangkan asal-usul Suku Bajo. Versi satu mengatakan dari Indonesia, versi lain mengatakan dari Filipina, Malaysia, dan lainnya. Ditemui dalam Media Trip WWF di Wakatobi, Jumat (6/5/11) lalu, Wakil Ketua Suku Bajo se-Asia Tenggara dan Sekjen Bajo International Community Consideration (BICC), Sadar, mengatakan, "Hasil penelitian ini bisa sangat banyak gunanya bagi kami Orang Bajo."
Sadar menambahkan, kajian antropologis dan sejarah belum cukup representatif. Analisis DNA bisa membantu menerangkan. Menurutnya, selain mengetahui asal-usul suku Bajo, hasil penelitian juga bisa membantu Suku Bajo mendapatkan haknya.
Suku Bajo lahir dan hidup di laut sehingga punya ketangguhan mengarungi lautan. Meski kini banyak yang tinggal di darat, ketergantuangan terhadap laut belum hilang. Banyak dari mereka yang masih berprofesi sebagai nelayan. Masyarakat Bajo kadang dianggap bajak laut dan perusak, padahal mereka memiliki kearifan dalam mengelola ekosistem laut.
Sekelumit kehidupan Suku Bajo bisa disimak dalam film "The Mirror Never Lies" yang kini tayang di bioskop. 

Sumber : Kompas.com