Minggu, 05 Juni 2011

Ketika Hutan Menjadi Korban Sengketa Batas Wilayah

Ilustrasi

Masalah sengketa batas wilayah di lokasi sekitar Gunung Kelud (1730 mdpl) antara Kabupaten Kediri dengan Blitar, Jawa Timur, memicu kerusakan hutan lindung di kawasan milik Perhutani, dengan ditemukannya tanaman hutan yang ditebang.

Adanya kerusakan hutan itu diungkapkan dari survei yang sudah dilakukan tim KPH (Kesatuan Pemangku Hutan) Kediri.

Jalur sepanjang 2 kilometer di hutan lindung kawasan KPH Kediri yang dibuat jalan rintisan menuju kawasan puncak Gunung Kelud yang terletak di perkebunan Margomulyo, Desa Sugihwaras, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri, itu, sudah rapi.

Ditemukan banyak pohon rusak di kawasan hutan yang biasa disebut rimba-rimba campur itu, yang terdiri dari berbagai kayu nonkomersil.

Jalur itu terlihat mengitari lokasi sekitar hutan menuju kawasan puncak Gunung Kelud, dengan mengepras bekas timbunan material Kelud. Jalur yang lebarnya hanya 1-1,5 meter itu juga sudah bisa dilewati kendaraan roda dua.

Tetapi, untuk sampai ke puncak, belum bisa dilakukan, karena jalur itu buntu di kaki Gunung Kelud, mengingat lokasi yang dibuat akses jalan di daerah bawah, sementara lokasi gunung di daerah perbukitan.

"Kami memang temukan ada kerusakan di kawasan hutan ini, dengan banyaknya pohon yang ditebang, walaupun tidak diambil," kata Wakil Administratur Kepala Sub KPH Kediri Utara, Erik Alberto.

Di kawasan Perhutani Kediri, perusakan hutan itu masuk di petak 149 B RPH Pandantoyo, KPH Kediri. Luas kerusakan memang tidak menyeluruh, hanya yang dibuat untuk jalur rintisan yang panjangnya sekitar 2 kilometer, dengan perbatasan KPH Blitar.

Ia mengaku menyesalkan dengan aksi tersebut. KPH Kediri juga sudah melaporkan ke polisi terkait dengan masalah perusakan hutan ini. Laporan itu berdasarkan dari informasi yang dihimpun KPH Kediri ke warga Blitar, tepatnya di Desa Sumberasri, Kecamatan Nglegok, yang masyarakatnya banyak ikut kerja bakti, membuka jalur akses itu.

Jika KPH Kediri mengaku ada kerusakan hutan saat kerja bakti oleh warga untuk pembukaan jalan rintisan ke Kelud, lain halnya dikatakan oleh KPH Blitar. Mereka justru menilai, tidak ada kerusakan, karena yang dibuat untuk jalan rintisan hanyalah jalan setapak dan hanya ilalang saja.

"Tidak ada kerusakan hutan. Yang ditebang hanyalah ilalang saja, itupun jalur yang dibuka hanya jalur setapak," kata Kaur Humas KPH Perhutani Blitar Heri Purwanto.

Di KPH Blitar, lokasi jalan rintisan menuju puncak Kelud berada di petak tiga wilayah RPH Penataran, tepatnya di Desa Sumberasri, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar.

Untuk pembukaan akses jalan menuju ke Gunung Kelud itu, Heri menyebut, tidak ada izin sama sekali. Pihaknya juga sudah meminta warga menghentikan aktivitas pembuatan jalan rintisan, agar tidak merusak kawasan hutan.

Ada Kepentingan
Kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Blitar menuding aktivitas yang dilakukan warga ini ada unsur kepentingan oleh pihak tertentu untuk mendapatkan anggaran dana bencana dari pusat. Hal itu bisa diketahui, ketika Gunung Kelud meletus pada pertengahan 2007 lalu, anggaran bencana untuk Kabupaten Kediri lebih besar daripada daerah lain yang juga terkena dampak bencana.

"Aspek politik anggaran sangat berpengaruh, terutama soal anggaran tanggap bencana. Yang punya Kelud, tentunya akan mendapatkan yang lebih besar dari pusat," kata Koordinator Sitas Desa (sebuah LSM yang konsentrasinya pada pendampingan pelestarian alam), Farhan Mahfuzi.

Ia justru menyayangkan adanya "perintah" yang meminta warga untuk kerja bakti membangun jalan rintisan itu. Jika pemerintah memerhatikan tingkat kesejahteraan warga, dengan menjadikan daerah itu lebih baik, tentunya pemerintah akan lebih memperhatikan pembangunan akses untuk pelebaran jalan ke kota, bukan ke atas (lokasi gunung).

"Justru yang saat ini dipertanyakan, adalah tingkat keuntungannya. Selama ini masyarakat hanya jadi penonton. Kalaupun dapat, mereka paling hanya jualan makanan dan minuman," ucap Farhan, mempertanyakan.

Kasus sengketa itu, lanjut dia, tidak akan selesai, jika kedua daerah tidak saling menerima satu dengan lainnya. Jika hal ini diteruskan, kerukunan antarwarga juga bisa terancam. Misalnya, di Desa Sumberasri, ada satu sumber mata air, tetapi yang memanfaatkan lebih banyak warga Sempu, Kabupaten Kediri.

Pemanfaatan sumber mata air di lokasi itu hingga kini tidak dipermasalahkan oleh warga Sumberasri, Kabupaten Blitar. Tetapi, jika hal ini juga dipermasalahkan, budaya perbatasan yang secara sosial tidak ada masalah, bisa menjadikan masyarakat terprovokasi, dan dampaknya bisa jadi sumber air itu ditutup.

Adanya tudingan kepentingan ini ditampik langsung oleh Pemerintah Kabupaten Kediri. Pelaksana tugas Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Pemkab Kediri, Edhi Purwanto menyebutkan, yang menjadi masalah saat ini adalah perusakan hutan, bukan masalah anggaran yang diperebutkan.

Ia menyebut, masalah anggaran tidak menjadi fokus. Toh, jika anggaran bencana turun pun, diberikan saat ada bencana dan itu pasti merata ke seluruh daerah dampak bencana.

"Bukan masalah anggaran bencana. Saat ini juga tidak ada ancaman yang serius, Kelud masih tenang. Yang menjadi fokus saat ini, adanya kerusakan hutan," ujar Edhi, menegaskan.

Pihaknya khawatir, jika perusakan itu dibiarkan, dapat berakibat bahaya, seperti banjir, tanah longsor. Terlebih lagi, aktivitas perusakan hutan itu juga bisa mengganggu ekosistem lingkungan seperti hewan-hewan yang hidup di hutan.

"Harusnya penegak hukum proaktif masalah ini. Pelestarian hutan itu sangat penting, untuk menjaga ekosistem," tutur Edhi.

Untuk masalah sengketa batas wilayah Gunung Kelud, Edhi mengaku masih menunggu kabar selanjutnya dari Pemprov Jatim. Pihaknya berharap, masalah ini segera diselesaikan dan ada kejelasan.

Warga Jadi Korban ?
Masalah pembuatan jalan rintisan menuju kawasan wisata Gunung Kelud di perkebunan Margomulyo, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, diindikasikan jika warga hanya dikorbankan.

Wakil Administratur Kepala Sub KPH Kediri Utara, Erik Alberto mengatakan, tidak mungkin masyarakat mempunyai inisiatif untuk mau kerja bakti jika tidak ada perintah langsung.

Walaupun indikasi itu ada, Erik mengaku tidak ingin masalah perusakan hutan ini membuat gempar masyarakat. Pihaknya sudah meminta informasi dari masyarakat Blitar tentang perusakan itu, dah sudah melaporkannya ke aparat penegak hukum.

"Kami berharap, ini nantinya tidak menjadi rumit, karena berhadapan dengan masyarakat langsung. Kami sudah serahkan masalah ini ke polisi," ucap Erik.

Pemerintah Kabupaten Blitar menampik jika sengaja mengorbankan masyarakat dalam pembuatan jalan rintisan ke lokasi Gunung Kelud itu. Hal itu ditegaskan langsung Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Kabupaten Blitar, Wiyakto.

"Kerja bakti itu inisiatif masyarakat sendiri," kata Wiyakto.

Ia juga menampik, pemerintah sudah mengalokasikan anggaran khusus untuk pembuatan akses jalan rintisan itu. Ia menyebut, dalam APBD 2011, belum ada anggaran khusus untuk pembuatan jalan rintisan.

Beberapa warga yang dikonfirmasi tentang pembuatan jalan rintisan di Desa Sumberasri maupun Gambar, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar mengaku mereka diminta untuk kerja bakti membangun jalan rintisan.

Kerja bakti itu dilakukan oleh warga secara bergantian mulai Maret 2011. Tetapi, aksi warga dihentikan oleh Perhutani Kediri pada 12 Mei 2011, setelah jalan rintisan sudah tembus wilayah Perhutani Kediri.

Slamet Katiran (46), salah seorang warga Desa Gambar, Kecamatan Nglegok, mengaku jika kerja bakti itu dilakukan atas perintah kepala desa. Warga dengan senang hati mau melakukan, karena dijanjikan adanya perbaikan kehidupan, dengan pembukaan akses jalan.

Selain daerah itu bisa dijadikan akses jalan menuju gunung yang pernah meletus secara "effusif" tahun 2007 itu, masih ada tiga objek wisata yang menarik, di antaranya sebuah candi yang saat ini juga sudah ditetapkan sebagai cagar budaya, gardu pandang di areal perkebunan, serta air terjun yang cukup bagus. Hingga kini, lokasi wisata itu belum diperhatikanuntuk pengelolaannya.

Ia menyebut, saat pemberian informasi tentang pembukaan jalur itu, Pak Kades mengatakan jika jalan desa akan dilebarkan hingga 8 meter dan akan diaspal "hotmix". Hal itu tentunya menggembirakan, karena dipastikan daerah ini menjadi terbuka. Selama ini, desanya memang sangat terpencil, hingga kurang akses jalan.

"Kami memang diakomodasi oleh kades, kasun, hingga RT, yang informasinya akan dibangun jalan pintas ke Kelud. Rencananya, jalan juga akan diperlebar," paparnya.

Selama mengikuti kerja bakti, Slamet mengaku warga tidak pernah diberi upah berupa uang dan hanya diberi makan nasi bungkus. Untuk anggaran, masyarakat juga tidak pernah diberi tahu, padahal setiap harinya masing-masing warga ini juga mempunyai kesibukan sebagai buruh perkebunan maupun petani.

Masyarakat, kata dia, tidak mengetahui dengan pasti masalah izin yang harus diajukan ke pemerintah terkait dengan pembuatan jalur rintisan. Masyarakat hanya mengikuti instruksi dari perangkat desa. Jika ke depan ada masalah, pihaknya akan meminta pertanggungjawaban dari perangkat.

"Kalau kami hanya mengikuti perintah saja. Kami tidak mengetahui apa-apa masalah administrasi," ucapnya, menegaskan.

Kasus perusakan hutan di areal Perhutani Kediri sudah dilaporkan ke polisi. Perhutani Kediri sudah melakukan membuat surat dan diberikan kepada polisi, untuk ditindaklanjuti.

Kepala Kepolisian Sektor (Polsek) Ngancar, AKP Heroe Jodoe mengatakan sudah melimpahkan masalah ini ke Polres Kediri, mengingat kasus ini melibatkan dua daerah, yaitu Kabupaten Kediri dan Blitar.

"Kami limpahkan masalah ini ke Polres Kediri, mengingat masalah itu menyangkut batas wilayah dan yang dilaporkan masalah perusakan hutan," ucap Kapolsek.

Pemerintah Kabupaten Blitar kelihatannya juga enggan untuk bertanggung jawab, dengan alasan pemerintah tidak memberikan instruksi langsung terkait dengan pembangunan jalan rintisan.

"Itu bukan dari pemerintah kabupaten, tetapi warga yang punya keinginan untuk buat jalan rintisan itu. Dari dahulu sebenarnya sudah ada jalannya itu tinggal memperbaiki saja," kata Kepala Bagian Humas Pemkab Blitar, Wiyakto, menampik.

Ketua DPRD Kabupaten Kediri, Guntur Wahono mengatakan yang dilakukan pemerintah bukanlah sebuah kekeliruan. Pihaknya merasa tidak perlu menanggapi dan merasa sudah melakukan yang benar dengan pembukaan akses jalan itu.

Pihaknya juga menegaskan, yang dilakukan saat ini hanya untuk mengetahui batas wilayah. Ia berharap masalah ini segera tuntas, hingga ke depan tidak merembet ke masalah lain.

Kasus perusakan hutan itu berawal dari perebutan batas wilayah antara Kabupaten Kediri dengan Blitar. Kedua daerah sama-sama mengklaim jika puncak Gunung Kelud itu masuk ke wilayah mereka.

Kedua daerah juga sama-sama mengeluarkan bukti otentik batas wilayah. Kabupaten Kediri mengeluarkan peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) 2003, dengan catatan bahwa garis batas yang berada di daerah yang menjadi sengketa yaitu Desa Sugihwaras, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri, sementara untuk Kabupaten Blitar adalah Desa Sumberasri, Kecamatan Nglegok dan Desa Karangrejo, Kecamatan Garum dianggap tidak ada. Selain peta RBI, pemkab juga mengeluarkan peta digital.

Sementara itu, terkait dengan peta RBI 2001, peta Topdam, dan peta Perhutani untuk menentukan batas wilayah, dikatakan pemerintah merujuk pada keterangan dari Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakorsutanal) jika peta itu tidak dapat digunakan untuk menentukan batas daerah.

Pemkab Blitar dalam usaha sengketa batas wilayah bahkan rela "terbang" hingga ke Belanda untuk mencari bukti pendukung, dan mendapatkan 14 peta yang pernah dibuat di era kolonial Belanda. Peta itu dibuat pada tahun 1840 hingga kemerdekaan.

Bupati Blitar, Herry Noegroho menyebut, peta itu menambah data tiga peta yang sebelumnya sudah dimiliki Kabupaten Blitar, yaitu RBI, peta Topografi Kodam Brawijaya, dan peta yang dibuat Bapeprov Jatim yang bekerja sama dengan Fakultas Kehutanan UGM, sebagai pendukung wilayah Gunung Kelud masuk Kabupaten Blitar.

Hingga kini, masalah batas wilayah itu belum tuntas, dan masih dimediasi oleh pemerintah provinsi. 

Sumber : Antaranews.com

Bekantan Beranak Tujuh Ekor

Dua ekor Bekantan asal Kalimantan di pepohonan Kebun Binatang Surabaya.


Bekantan di Pulau Bakut, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan, bertambah tujuh ekor setelah beberapa induk melahirkan di lingkungan kawasan konservasi yang sebelumnya rusak parah tersebut.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Selatan Bambang Dahono Adji  mengatakan, kelahiran tujuh ekor bekantan Pulau Kembang adalah kabar menggembirakan mengingat saat ini hewan khas Kalimantan Selatan itu terancam punah.

"Itu bisa menjadi pertanda mulai membaiknya kondisi lingkungan di daerah tersebut," sambungnya.

Sebelumnya, kawasan konservasi tersebut rusakparah akibat lalu lintas tongkang batu bara yang hilir mudik di daerah itu. Bahkan kapal tongkang itu sering sengaja ditabrakkan ke Pulau Bakut untuk ditambatkan.

Kegiatan itu tidak hanya merusak kawasan konservasi tetapi juga membuat populasi "monyet Belanda", sebutan lain bekantan tersebut kabur, berkurang.

Menurut catatan terakhir BKSDA populasi bekantan di Pulau Bakut tersisa 12 ekor, Pulau Kembang enam ekor dan Pulau Kaget 36 ekor. Jumlah tersebut berkurang hingga 50 persen dari jumlah saat kondisi kawasan itu belum rusak.

Khusus populasi bekantan di Pulau Bakut terdesak oleh populasi kera jenis lain yang berjumlah 650 ekor. Bekantan yang terdesak, kemudian berenang ke luar dari Pulau Bakut.

Usaha menyelamatkan hewan-hewan langka di daerah kaya sumber daya alam ini gencar dilakukan dengan cara merazia perburuan hewan langka dan penebangan pohon ilegal.

Sumber : Antaranews.com

Tak Ada Lagi Komunikasi Manusia-Alam

Ilustrasi
 
Hubungan komunikasi atau silaturahim antara alam dengan manusia kini telah putus sehingga kearifan lokal banyak yang dilanggar dan tidak dijalankan.
Ini yang menyebabkan bencana lingkungan bertubi-tubi terjadi khususnya di Jawa Barat yang potensi ancaman bencananya lebih besar di banding daerah lainnya.
Hal itu mengemuka dalam peringatan lingkungan hidup yang mengusung tema pengarusutamaan budaya di Monumen Perjuangan Jawa Barat, Bandung Minggu (5/6/2011).
Pengamat lingkungan yang juga anggota Dewan Pemerhati Kelestarian Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin Supardiono menyatakan, kini tidak ada lagi ketabuan yang ditaati oleh masyarakat.
Padahal ketabuan (pamali-Sunda) merupakan kearifan lokal untuk memelihara alam. Misalnya kawasan pegunungan yang seharusnya dihutankan, malah digunduli dan dijadikan lahan pertanian semusim, jangka pendek.
Tebing-tebing tidak lagi ditanami pohon bambu dan mata air banyak yang ditutup oleh hutan beton, misalnya di Bandung Utara.
Akibat semua itu, akhirnya alam mengatur dirinya sendiri. Ini seperti pepatah aliran air yang disampaikan oleh seorang seniman Sunda, kami moal ngelehan, moal ngelehkeun, tapi pasti nepi ka tujuan. Ngan hampura bisi aya nu kalabrak, kasered kabawa palid, kabanjiran jeung kakeueum, da bongan ngalahangan jeung aya dina jajalaneun kami. (Kami tidak akan mengalah dan mengalahkan tapi pasti sampai tujuan. Namun maaf kalau ada yang ketabrak terbawa arus banjir dan terendam sebab menghalangi jalan kami).
Sobirin mencontohkan, luas kawasan lindung Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum hulu harusnya 52 persen atau sekitar 340.000 hektar.
Namun yang ada kini hanya sekitar 39.000 hektar atau sekitar 11 persen. Dari luas itu pun hutannya hanya 10.000 hektar, sisanya sudah berubah fungsi mulai dari lahan pertanian hingga vila.
Akibatnya, bencana (banjir) terus menerus terjadi. Pasalnya dari curah hujan 108 meter kubik per detik/tahun meluncur ke Sungai Citarum yang kapasitasnya hanya mampu menampung debit 41 meter kubik per detik.
Jika kawasan lindung dan daerah tangkapan air itu mencapai 52 persen, maka sekitar 67 meter kubik perdetik air hujan yang turun bisa diserap.  
"Sekarang tinggal pilih, mau melebarkan penampang sungai hingga kapasitasnya bisa menampung debit air hujan yang berarti memindahkan penduduk, atau mengoptimalkan kawasan lindung," tegasnya.
Fakta lain adalah sebanyak 17 persen dari kawasan lindung yang ada sekarang terus diincar oleh investor. Penguasaannya dilakukan melalui iming-iming, intervensi, dan intimidasi.
Karena kedua pilihan itu sangat dilematis, ia menyarankan agar dilakukan rekayasa sosial yang melibatkan warga. Misalnya setiap rumah harus memiliki sumur resapan. Kemudian, setengah dari jumlah anggota keluarga di masing-masing rumah tangga di wilayah DAS diwajibkan menanam pohon untuk memenuhi wilayah tangkapan air yang memadai. 

Sumber : Kompas.com