Ilustrasi
Lembaga swadaya masyarakat (LSM) Rumah Mangrove menduga ekowisata mangrove di Kelurahan Wonorejo, Kecamatan Rungkut, Kota Surabaya disalahgunakan untuk kepentingan bisnis.
Koordinator Rumah Mangrove, Wawan Some di Surabaya, Selasa, mengatakan ekowisata mangrove seharusnya tidak melakukan eksploitasi alam, namun sebatas menggunakan jasa alam dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan, fisik, dan psikologis wisatawan.
"Namun dalam perkembangannya, muncul permasalahan baru salah satunya dengan digelarnya pagelaran musik dangdut di kawasan tersebut," katanya.
Bahkan, lanjut dia, laporan yang masuk ke Rumah Mangrove suara sound syistem musik dangdut yang cukup keras, sekaligus disertai adanya suara letusan semacam petasan. "Ini tentunya akan sangat berimbas pada ekosistem," ujarnya.
Menurut dia, acara dangdutan tersebut digelar pada saat penanaman 10.000 batang mangrove serta peresmian gazebo oleh salah satu BUMN di muara sungai Wonorejo beberapa waktu lalu.
Selain itu, lanjut dia, peresmian mini restoran apung ukuran sekitar 6 x 6 m2 di petak tambak warga yang tidak jauh dari pusat ekowisata juga menambah panjang daftar masalah yang sebelumnya ada.
Wawan mengatakan rusaknya infrastruktur juga terjadi di kawasan tersebut di antaranya rusaknya track (papan jalan) yang baru dibangun.
Suara bising dari mesin temple perahu yang dipakai rombongan wisatawan atau peserta tanam mangrove massal menuju muara ditengarai mengganggu keberadaan burung di pantai timur Surabaya (Pamurbaya).
"Perahu ekowisata yang relatif besar menghasilkan gelombang yang besar dan merusak tepi sungai," ujarnya.
Tingginya aktifitas manusia di Pamurbaya akhir-akhir ini diduga berdampak pada satwa liar, utamanya burung sehingga bukan tidak mungkin kasus daun mangrove jenis Avicennia Marina yang dimakan lalat beberapa waktu lalu disebabkan karena populasi burung pemakan serangga di Pamurbaya berkurang.
Disamping itu, keberadaan gazebo yang saat ini ada tiga banggunan di depan hutan mangrove yakni di sisi timur bakal menghalangi pertumbuhan alami hutan mangrove yang akan terus tumbuh ke arah laut (timur).
Di sisi lain, lokasi tempat gazebo saat ini merupakan lokasi yang sering menjadi tempat ribuan burung migran singgah untuk mencari makan dan istirahat.
Semakin tinggi aktivitas manusia di busem dan diduga akan terus meningkat setelah ada track mengancam monyet ekor panjang (macaca fascicularis). Ini karena daerah jelajah koloni monyet ekor panjang yang berjumlah sekitar 20 ekor itu menjadi lebih sempit.
Wawan menyebutkan fakta di lapangan menunjukan ada aktifitas pelepasan monyet di lokasi ekowisata. Padahal, selama ini monyet mempunyai wilayah masing-masing, ada di muara Gunung Anyar maupun Wonorejo. Dampaknya, begitu ada monyet baru masuk, terjadi perkelahian antarmonyet.
Koordinator Rumah Mangrove, Wawan Some di Surabaya, Selasa, mengatakan ekowisata mangrove seharusnya tidak melakukan eksploitasi alam, namun sebatas menggunakan jasa alam dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan, fisik, dan psikologis wisatawan.
"Namun dalam perkembangannya, muncul permasalahan baru salah satunya dengan digelarnya pagelaran musik dangdut di kawasan tersebut," katanya.
Bahkan, lanjut dia, laporan yang masuk ke Rumah Mangrove suara sound syistem musik dangdut yang cukup keras, sekaligus disertai adanya suara letusan semacam petasan. "Ini tentunya akan sangat berimbas pada ekosistem," ujarnya.
Menurut dia, acara dangdutan tersebut digelar pada saat penanaman 10.000 batang mangrove serta peresmian gazebo oleh salah satu BUMN di muara sungai Wonorejo beberapa waktu lalu.
Selain itu, lanjut dia, peresmian mini restoran apung ukuran sekitar 6 x 6 m2 di petak tambak warga yang tidak jauh dari pusat ekowisata juga menambah panjang daftar masalah yang sebelumnya ada.
Wawan mengatakan rusaknya infrastruktur juga terjadi di kawasan tersebut di antaranya rusaknya track (papan jalan) yang baru dibangun.
Suara bising dari mesin temple perahu yang dipakai rombongan wisatawan atau peserta tanam mangrove massal menuju muara ditengarai mengganggu keberadaan burung di pantai timur Surabaya (Pamurbaya).
"Perahu ekowisata yang relatif besar menghasilkan gelombang yang besar dan merusak tepi sungai," ujarnya.
Tingginya aktifitas manusia di Pamurbaya akhir-akhir ini diduga berdampak pada satwa liar, utamanya burung sehingga bukan tidak mungkin kasus daun mangrove jenis Avicennia Marina yang dimakan lalat beberapa waktu lalu disebabkan karena populasi burung pemakan serangga di Pamurbaya berkurang.
Disamping itu, keberadaan gazebo yang saat ini ada tiga banggunan di depan hutan mangrove yakni di sisi timur bakal menghalangi pertumbuhan alami hutan mangrove yang akan terus tumbuh ke arah laut (timur).
Di sisi lain, lokasi tempat gazebo saat ini merupakan lokasi yang sering menjadi tempat ribuan burung migran singgah untuk mencari makan dan istirahat.
Semakin tinggi aktivitas manusia di busem dan diduga akan terus meningkat setelah ada track mengancam monyet ekor panjang (macaca fascicularis). Ini karena daerah jelajah koloni monyet ekor panjang yang berjumlah sekitar 20 ekor itu menjadi lebih sempit.
Wawan menyebutkan fakta di lapangan menunjukan ada aktifitas pelepasan monyet di lokasi ekowisata. Padahal, selama ini monyet mempunyai wilayah masing-masing, ada di muara Gunung Anyar maupun Wonorejo. Dampaknya, begitu ada monyet baru masuk, terjadi perkelahian antarmonyet.
Sumber : Antaranews.com