Senin, 16 Mei 2011

Nelayan Teluk Lampung Keluhkan Kerusakan Terumbu Karang


Sejumlah nelayan di pesisir Teluk Lampung mengeluhkan kerusakan terumbu karang yang semakin parah hingga menurunkan tangkapan ikan mereka.

"Sekarang ini sangat sulit untuk mendapatkan ikan tangkapan. Kondisi ini disebabkan makin rusaknya terumbu karang yang ada di teluk ini," kata Tarudin (40), seorang nelayan di pesisir Desa Gubuk Sero, Kelurahan Kangkung, Kecamatan Telukbetung Selatan, Bandarlampung, Senin.

Ia mengatakan, kerusakan tersebut diakibatkan karena masih maraknya nelayan yang menangkap ikan dengan menggunakan bahan peledak dan pukat harimau.

Menurut dia, kerusakan terumbu karang membuat ikan yang berada di Teluk Lampung seperti "menghilang".

"Akibat rusaknya terumbu karang tersebut, pendapatan kami menurun hingga 50 persen, karena ikan-ikan sangat jarang dan sulit didapat," katanya.

Ia mengatakan banyak nelayan yang mencari ikan hingga ke daerah Laut Jawa bahkan sampai Laut Kalimantan karena sulitnya mendapatkan ikan di daerah Teluk Lampung.

Keluhan senada juga diungkapkan oleh Usup (27), Nelayan Desa Umbul Asem, Kecamatan Telukbetung Barat, Bandarlampung.

Ia menuturkan, akibat jauhnya tempat mencari ikan membuat dirinya harus mengeluarkan modal lebih banyak lagi.

"Biasanya modal kami hanya Rp2 juta-Rp2,5 juta untuk dua hari melaut, tetapi karena jauhnya lokasi tangkapan dan memakan waktu hingga seminggu, maka kami harus mengeluarkan modal sedikitnya Rp4 juta-Rp5 juta," jelas dia.

Ia mengatakan, untuk mensiasati modal tersebut terkadang nelayan menjual ikan tangkapannnya di daerah lain untuk mendapatkan modal kembali.

"Kami sering kahabisan modal di jalan sehingga kami harus menjual ikan ke daerah terdekat di luar Lampung, dan uangnya untuk membeli keperluan logistik agar kami dapat pulang ke rumah," kata dia.

Sejumlah nelayan berharap agar pemerintah dapat menindak tegas para nelayan yang mencari ikan dengan cara ilegal tersebut yang dapat merusak habitat laut, seperti terumbu karang yang menjadi rumah bagi sebagian ikan.

Diperkirakan lebih dari 18 persen terumbu karang di Teluk Lampung dan sekitarnya saat ini telah mati.

Dua tahun lalu, Pemprov Lampung menyebutkan antara empat hingga 28 persen terumbu karang di kawasan itu tertutup pasir, sementara 0,6 hingga 45 persennya pecah atau bentuk morfologisnya sudah tidak utuh lagi.

Kesulitan nelayan untuk mendapatkan ikan tangkapan berpengaruh pada naiknya harga ikan pada beberapa tempat pelelangan ikan (TPI) di Bandarlampung.

Sementara itu sejumlah agen juga mengeluhkan mahalnya harga ikan yang dibeli dari nelayan dengan cara lelang untuk memenuhi pasokan ke berbagai pedagang yang ada di Bandarlampung.

"Saya terpaksa membeli ikan dengan harga tinggi, daripada tidak ada stok untuk memasok pedagang," kata Gembor (45), salah seorang agen ikan di TPI Gudang Lelang, Bandarlampung.

Ia menjabarkan, di kalangan agen harga ikan tongkol Rp20 ribu/kilogram, ikan kembung sate Rp17 ribu/kilogram, ikan teri nasi Rp 15 ribu/kilogram, ikan simba Rp35 ribu/kilogram.

Sumber : Antaranews.com

Sebagian Besar Hutan Mangrove Jadi Tambak






Komunitas Nol Sampah Kota Surabaya menyatakan sebagian besar Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya) yang selama ini merupakan hutan Mangrove itu kini sudah menjadi tambak.

Koordinator Komunitas Nol Sampah, Wawan Some, Minggu, mengatakan, dari investigasi yang dilakukan aktivis lingkungan di Surabaya selama satu tahun terakhir ini, diketahui kerusakan hutan mangrove di Pamurbaya dimulai pada tahun 1980-an ketika warga dengan mudah membabat hutan mangrove untuk dijadikan tambak.

Menurut Wawan hal ini didukung oleh pihak Desa Wonorejo saat itu yang sangat mudah mengeluarkan Petok D, sehingga sebagian besar tambak-tambak tersebut hak kepemilikannya sudah berpindah tangan walau masih dikelola oleh warga setempat.

"Tambak-tambak ber petok-D tersebut sudah dijual kepada investor atau jurugan tanah," katanya.

Wawan mencontohkan kondisi hutan mangrove di Keputih (Pamurbaya bagian utara) sebenarnya pada tahun 1980-an terus tumbuh ke arah laut, namun tambak-tambak baru terus muncul mengikuti pertumbuhan mangrove ke arah laut.

Kondisi yang sama, lanjut dia, juga terjadi di daerah selatan Pamurbaya yang diketahui banyak Mangrove dibabat untuk dijadi tambak.

Dalam perkembangannya ketebalan hutan mangrove juga terus menipis yakni rata-rata hanya 10 meter sehingga dari arah laut akan jelas terlihat tambak. Bahkan di beberapa sisi salah satunya di daerah

Keputih (utara muara kali Jagir) sudah tidak ada vegetasi mangrove.

Padahal pada awal tahun 1990-an di lokasi tersebut masih banyak banyak dijumpai vegetasi mangrove jenis Sonneratia alba, Rhiphora mucronata dan Avicenia alba yang diameter batangnya mencapai 2 meter.

Kondisi tambak saat ini sangat jarang ditumbuhi vegetasi mangrove. Ini yang perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah setempat. "Idealnya tambak-tambak tersebut dipagari vegetasi mangrove," katanya.

Keberadaan mangrove di tanggul-tanggul tambak sangat penting, selain berfungsi sebagai jalur hijau, vegetasi mangrove tersebut juga memberi keuntungan ganda bagi pemilik tambak.

Selain akan menguatkan tanggul, juga akan menjadi biofilter dan tempat pemijahan bagi ikan dan udang

Sumber : Antaranews.com

Ikan Batanghari Terancam Limbah Tambang Emas

Sungai Batanghari yang Terancam limbah tambang emas ( Ilustrasi )

Zat besi yang dihasilkan penambangan emas tanpa izin mengancam habitat atau kelangsungan ikan di Sungai Batanghari, karena dapat meracuni ikan yang hidup di sungai terpanjang di Sumatera itu.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Jambi, Herman Rahim di Jambi, Senin mengatakan, kendati sampai saat ini ikan budidaya yang dilakukan di Sungai Batanghari bebas dari logam berat, seperti mercury dan zat besi akibat, namun membahayakan bagi habitat perikanan umum.

"Masih maraknya penambangan emas tanpa izin (PET) di sungai yang menjadi andalan untuk memacu produksi perikanan air tawar itu, harus segera dihentikan, karena limbah yang dihasilkan akan meracuni ikan dan berbahaya untuk dikonsumsi," katanya.

Ia menyebutkan, tingkat pencemaran sungai Batanghari kian meningkat, baik oleh limbah rumah tangga, perusahaan dan PETI, namun masih aman untuk budidaya.

Di Sungai Batanghari kini terdapat sekitar 18.000 unit lebih keramba dan jaring apung untuk budidaya berbagai jenis ikan air tawar, seperti nila, patin jambal dan lainnya, dan itu akan terus ditingkatkan, terutama patin jambal.

Sampai saat ini  kualitas air di Sungai Batanghari masih layak untuk pengembangan sektor perikanan budidaya ikan air tawar, dan ikan yang dihasilkan pun aman untuk dikonsumsi, karena bebas dari logam berat dan racun lainnnya.

"Kendati masih layak bagi pengembangan sektor perikanan, untuk tetap menjaga kualitas airnya, kita juga minta pada instansi terkait untuk menekan dan memerangi PETI, karena tidak menutup kemungkinan bila tidak dicegah, mercury yang dihasilkan bisa meresap ke tubuh ikan dan bahaya untuk dikonsumsi," kata Herman Suherman.

Sumber : Antaranews.com

8 Spesies Baru Ikan Karang Ditemukan di Bali

Salah Satu spesies Ikan karang, yang baru di temukan di Bali
 
Ilmuwan dari Conservation International menemukan delapan spesies ikan karang baru dan satu spesies karang baru di Bali. Spesies-sepsies tersebut diyakini merupakan spesies khas Bali, bukan migrasi dari wilayah lain. Demikian dilansir kantor berita AFP.
Spesies ikan itu meliputi golongan belut, damsels, serta ikan warna-warni. "Kami telah melakukan survei kelautan di 33 tempat di Bali dan berhasil mengidentifikasi 952 ikan karang dan kami menemukan delapan spesies baru," kata penasihat tim peneliti Mark van Nydeck Erdmann.
Survei kelautan dilakukan di kawasan wisata populer timur laut Tulamben, kawasan Dicing, Nusa Dua, Gili Manuk, dan Pemuteran pada kedalaman 10 hingga 70 meter. Hasil penelitian dinilai mengejutkan sebab Bali ternyata memiliki biodiversitas ikan yang tinggi.
Spesies baru yang ditemukan belum dinamai, tetapi masing-masing masuk dalam genus Siphamia, Heteroconger, Apogon, Parapercis, Meiacanthus, Manonichthys, Grallenia, dan Pseudochromis. Sementara jenis karang yang ditemukan masuk dalam golongan Euphyllia.
Karena jenis ikan ini pertama kali ditemukan di Bali, ilmuwan berasumsi bahwa semua spesies tersebut khas Bali. Bersama penemuan itu, ilmuwan menyatakan bahwa kondisi terumbu karang saat ini lebih baik daripada 20 tahun lalu.
Di tengah penemuan spesies ikan baru itu, ternyata beberapa jenis ikan komersial, seperti kerapu, napoleon, dan hiu, sudah sulit ditemukan. Hal ini membuktikan adanya overfishing sehingga menuntut pengendalian penangkapan. 

Sumber : Kompas.com

Bertelur dalam Gelap, Dijual Kala Terang

Seekor penyu hijau (Chelonia mydas) betina berdiameter satu meter membuat sarang dan bertelur di pesisir pantai Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, Senin (31/7). Populasi penyu di daerah itu terancam akibat perburuan dan penjualan telur. 
Waktu bertelur bagi penyu hijau atau Chelonia mydas seolah-olah sudah diatur alam raya terjadi pada malam hari untuk menghindari pemangsa. Pemerintah juga telah mengeluarkan undang-undang yang melindungi generasi spesies langka itu. Tapi manusia seperti t idak kehabisan akal untuk menjual-belikan telur-telur itu.
Seorang ibu-ibu berdandan menor menghampiri Solehudin, petugas dari UPTD Konservasi Penyu Hijau Pangumbahan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi, pada perayaan Hari Nelayan Ujunggenteng, Sabtu (8/5/11) siang. Ia menanyakan di mana bisa beli telur penyu. "Kita tidak menjual, bu. Semua telur untuk ditetaskan. Kalau mau lihat, datang saja ke Pangumbahan," kata Solehudin, tanpa dibalas kata-kata oleh si ibu tadi.
Aturannya memang begitu. Undang-undang Nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya telah melarang siapapun untuk mengambil, merusak, memusnahkan, menyimpan atau memiliki telur penyu. Tapi kenyataannya, telur penyu masih ada di pasaran. 
"Mau beli berapa? Sebutirnya Rp 5.000," kata Karto di tempat parkir Pantai Ujunggenteng saat ditanya apakah ada penjual telur penyu di sekitar situ. Karto mengaku bukan pedagang, tetapi bisa menghubungkan calon pembeli dengan pencari telur.
Ia paham bahwa telur penyu haram diperjual-belikan. Ia pun tahu hukuman bagi pelanggar undang-undang itu. Tapi masih banyak yang cari. "Pengunjung dari Jakarta dan Bandung biasanya beli banyak, sampai seratus butir sekali datang. Katanya sih bisa untuk kesehatan dan menambah vitalitas pria dewasa," ujarnya enteng.
Setelah tercapai kesepakatan, Kompas diajak ke sebuah rumah di kawasan Kalapa Condong, sekitar tiga kilometer dari Pantai Ujunggenteng, untuk menemui Nono (bukan nama sebenarnya). Dalam perjalan, Karto bercerita, Nono biasanya punya persediaan telur penyu untuk dijual.
Saat ditemui, Nono sedang duduk di balai di rumah panggung berdinding anyaman bambu. Di situlah pria berusia sekitar 50 tahunan ini tinggal bersama istri dan tujuh anak. Mengejutkan, ternyata Nono adalah komandan Kelompok Masyarakat Pengawas yang dibentuk oleh UPTD Konservasi Penyu Hijau Pangumbahan.
"Setiap malam ada warga sekitar Pangumbahan yang mengambil diam-diam telur penyu di daerah konservasi itu. Kalau mau, tunggu dulu sebentar, nanti saya ambilkan di rumah mereka yang semalam habis dapat telur," ujar Nono.
Ia kemudian memakai seragam bertugasnya, jelas terpampang namanya, dan nama instansi tempat ia bekerja. Sebelum berangkat, Karto mengajak kami kembali ke tempat parkir untuk menunggu Nono.
Tidak sampai setengah jam, Nono menghampiri kami dengan sepeda motornya. "Sudah ada. Ambil saja di rumah," ujarnya singkat.
Kami pun bergegas mengikuti Nono. Karto yang berinisiatif mengambil sendiri ke rumah Nono, dan kami mengunggu di mobil. Tak lama, Karto kembali dengan tangannya diselinapkan ke balik kaus di pinggul belakang. Ia baru menyerahkan bungkusan berplastik putih setelah sampai di dalam mobil. Transaksi selesai.
Kendala pengawasan
Janawi, Kepala Sub Bagian Tata Usaha UPTD Konservasi Penyu Hijau Pangumbahan mengaku telah berupaya keras menekan pencurian terlur penyu. Keterlibatan masyarakat sekitar lahan konservasi pun sudah diupayakan, salah satunya dengan membentuk Kelompok Masyarakat Pengawas.
Tetapi mungkin masih ada saja orang yang memanfaatkan kelengahan petugas. Petugas harus mengawasi pantai yang gelap gulita. "Terkadang kan petugas juga mengantuk. Kalau memang ada orang dalam yang terlibat, kami akan selidiki," ujar Janawi.
Pantai yang harus diawasi oleh UPTD itu sepanjang 2,4 kilometer, dengan enam pos pengawas. Setiap pos dijaga oleh satu pengawas mulai dari sore hingga fajar. Pekerjaan mereka masih dibantu oleh tujuh orang pemandu. "Jumlah pengawas sebenarnya sudah cukup. Namun memang sulit mengawasi alam terbuka seperti ini, apalagi malam hari," lanjut Janawi.
Ia mengatakan, konservasi penyu di Pangumbahan adalah satu dari delapan lokasi. Tujuh lokasi lain ini dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jabar. Dibandingkan dengan Pangumbahan, wilayah kami lebih luas, yaitu sekitar 8.127,5 hektar. "Tetapi sayangnya jumlah petugas jauh lebih sedikit," kata Isep Mukti, Pejabat Fungsional Seksi Konservasi BKSDA Jabar.
Memperbaiki fasilitas pengawasan sepertinya membutuhkan waktu lama dengan birokrasi berbelit, juga menelan biaya besar. Tapi jangan sampai hanya demi menambah keperkasaan pria, penyu hijau harus kehilangan generasi selanjutnya... 

Sumber : Kompas.com