Senin, 16 Mei 2011

Bertelur dalam Gelap, Dijual Kala Terang

Seekor penyu hijau (Chelonia mydas) betina berdiameter satu meter membuat sarang dan bertelur di pesisir pantai Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, Senin (31/7). Populasi penyu di daerah itu terancam akibat perburuan dan penjualan telur. 
Waktu bertelur bagi penyu hijau atau Chelonia mydas seolah-olah sudah diatur alam raya terjadi pada malam hari untuk menghindari pemangsa. Pemerintah juga telah mengeluarkan undang-undang yang melindungi generasi spesies langka itu. Tapi manusia seperti t idak kehabisan akal untuk menjual-belikan telur-telur itu.
Seorang ibu-ibu berdandan menor menghampiri Solehudin, petugas dari UPTD Konservasi Penyu Hijau Pangumbahan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi, pada perayaan Hari Nelayan Ujunggenteng, Sabtu (8/5/11) siang. Ia menanyakan di mana bisa beli telur penyu. "Kita tidak menjual, bu. Semua telur untuk ditetaskan. Kalau mau lihat, datang saja ke Pangumbahan," kata Solehudin, tanpa dibalas kata-kata oleh si ibu tadi.
Aturannya memang begitu. Undang-undang Nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya telah melarang siapapun untuk mengambil, merusak, memusnahkan, menyimpan atau memiliki telur penyu. Tapi kenyataannya, telur penyu masih ada di pasaran. 
"Mau beli berapa? Sebutirnya Rp 5.000," kata Karto di tempat parkir Pantai Ujunggenteng saat ditanya apakah ada penjual telur penyu di sekitar situ. Karto mengaku bukan pedagang, tetapi bisa menghubungkan calon pembeli dengan pencari telur.
Ia paham bahwa telur penyu haram diperjual-belikan. Ia pun tahu hukuman bagi pelanggar undang-undang itu. Tapi masih banyak yang cari. "Pengunjung dari Jakarta dan Bandung biasanya beli banyak, sampai seratus butir sekali datang. Katanya sih bisa untuk kesehatan dan menambah vitalitas pria dewasa," ujarnya enteng.
Setelah tercapai kesepakatan, Kompas diajak ke sebuah rumah di kawasan Kalapa Condong, sekitar tiga kilometer dari Pantai Ujunggenteng, untuk menemui Nono (bukan nama sebenarnya). Dalam perjalan, Karto bercerita, Nono biasanya punya persediaan telur penyu untuk dijual.
Saat ditemui, Nono sedang duduk di balai di rumah panggung berdinding anyaman bambu. Di situlah pria berusia sekitar 50 tahunan ini tinggal bersama istri dan tujuh anak. Mengejutkan, ternyata Nono adalah komandan Kelompok Masyarakat Pengawas yang dibentuk oleh UPTD Konservasi Penyu Hijau Pangumbahan.
"Setiap malam ada warga sekitar Pangumbahan yang mengambil diam-diam telur penyu di daerah konservasi itu. Kalau mau, tunggu dulu sebentar, nanti saya ambilkan di rumah mereka yang semalam habis dapat telur," ujar Nono.
Ia kemudian memakai seragam bertugasnya, jelas terpampang namanya, dan nama instansi tempat ia bekerja. Sebelum berangkat, Karto mengajak kami kembali ke tempat parkir untuk menunggu Nono.
Tidak sampai setengah jam, Nono menghampiri kami dengan sepeda motornya. "Sudah ada. Ambil saja di rumah," ujarnya singkat.
Kami pun bergegas mengikuti Nono. Karto yang berinisiatif mengambil sendiri ke rumah Nono, dan kami mengunggu di mobil. Tak lama, Karto kembali dengan tangannya diselinapkan ke balik kaus di pinggul belakang. Ia baru menyerahkan bungkusan berplastik putih setelah sampai di dalam mobil. Transaksi selesai.
Kendala pengawasan
Janawi, Kepala Sub Bagian Tata Usaha UPTD Konservasi Penyu Hijau Pangumbahan mengaku telah berupaya keras menekan pencurian terlur penyu. Keterlibatan masyarakat sekitar lahan konservasi pun sudah diupayakan, salah satunya dengan membentuk Kelompok Masyarakat Pengawas.
Tetapi mungkin masih ada saja orang yang memanfaatkan kelengahan petugas. Petugas harus mengawasi pantai yang gelap gulita. "Terkadang kan petugas juga mengantuk. Kalau memang ada orang dalam yang terlibat, kami akan selidiki," ujar Janawi.
Pantai yang harus diawasi oleh UPTD itu sepanjang 2,4 kilometer, dengan enam pos pengawas. Setiap pos dijaga oleh satu pengawas mulai dari sore hingga fajar. Pekerjaan mereka masih dibantu oleh tujuh orang pemandu. "Jumlah pengawas sebenarnya sudah cukup. Namun memang sulit mengawasi alam terbuka seperti ini, apalagi malam hari," lanjut Janawi.
Ia mengatakan, konservasi penyu di Pangumbahan adalah satu dari delapan lokasi. Tujuh lokasi lain ini dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jabar. Dibandingkan dengan Pangumbahan, wilayah kami lebih luas, yaitu sekitar 8.127,5 hektar. "Tetapi sayangnya jumlah petugas jauh lebih sedikit," kata Isep Mukti, Pejabat Fungsional Seksi Konservasi BKSDA Jabar.
Memperbaiki fasilitas pengawasan sepertinya membutuhkan waktu lama dengan birokrasi berbelit, juga menelan biaya besar. Tapi jangan sampai hanya demi menambah keperkasaan pria, penyu hijau harus kehilangan generasi selanjutnya... 

Sumber : Kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar