Rabu, 04 Mei 2011

Transplantasi Karang di Teluk Lampung

Sejumlah mahasiswa dan pelajar melakukan transplantasi koral di Pantai Ringgung, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung, Senin (18/4). Habitat terumbu karang di Teluk Lampung masih saja terancam kegiatan eksploitatif oleh manusia, antara lain ditambang untuk pondasi rumah dan resort. 

Dalam rangka Pekan Konservasi Sumber Daya Alam ke-XV, Himpunan Mahasiswa Biologi Universitas Lampung melakukan transplantasi koral, Senin (18/4/2011) di Pantai Ringgung, Teluk Lampung.
Kegiatan ini diikuti puluhan mahasiswa dan pelajar asal Bandar Lampung. Acara ini juga diikuti pencinta kegiatan menyelam dan snorkeling dari Lampung, Bandung, dan Palembang. Acara dipusatkan di wilayah Pantai Ringgung, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung.
Transplantasi koral dilakukan dengan menenggelamkan tiga rak besi berisi substrat dan stek karang-karang yang akan dikembangbiakkan. Setiap rak yang akan menjadi rumah koral ini berukuran 1,5 x 0,75 x 0,5 meter. Adapun jenis-jenis terumbu karang yang ditransplantasi adalah Acropora (karang cabang) dan Favites (karang otak).
Meity Irlani (20), koordinator acara transplantasi koral, mengatakan, Pantai Ringgung merupakan salah satu habitat yang ideal bagi terumbu karang. Namun, karena pola budidaya keramba jaring apung yang kurang hati-hati, sebagian karang rusak terkena jangkar.
Selain itu, layaknya kawasan Teluk Lampung lainnya, habitat terumbu karang di Ringgung juga terancam oleh aksi pengeboman ikan dan penggunaan racun potas oleh nelayan kecil di Lampung.
"Untuk menumbuhkan karang butuh bertahun-tahun, tetapi menghancurkannya cukup 5 menit," ujar Samsul Hadi (15), siswa dari SMKN 6 Bandar Lampung, mengungkapkan kerisauannya akan rusaknya terumbu karang.  
Menurut Meity, untuk acara PKSDA, kegiatan transplantasi koral ini merupakan yang pertama kali dilakukan. Tujuan kegiatan ini adalah untuk menumbuhkembangkan kesadaran pentingnya ekosistem terumbu karang. "Biasanya, kami melakukan kegiatan di darat dan pesisir. Padahal, laut juga tidak kalah penting," ungkapnya.

Sumber : Kompas.com

Budidaya Kerapu Bisa Rusak Terumbu

Kerapu
 
Budidaya kerapu merupakan salah satu upaya untuk mencegah pengambilan ikan karang tersebut secara langsung di alam. Namun, budidaya yang tidak efisien juga tetap bisa merusak ekosistem terumbu karang.
Demikian dikatakan Direktur Eksekutif LSM Mitra Bentala Herza Yulianto dalam acara Media Trip bersama WWF pada hari Senin (18/4/2011) di Lampung. Ia mengatakan, kerapu biasanya dibudidayakan di keramba apung di laut lepas yang kadang berada di wilayah yang terumbu karangnya masih bagus. Dengan demikian, kondisi lingkungan keramba secara langsung berpengaruh terhadap ekosistem terumbu karang.
Herza mengungkapkan, potensi kerusakan berasal dari material sisa budidaya. "Untuk kerapu, dampak limbahnya bisa lebih kritis karena langsung kontak dengan lingkungannya," ungkap Herza.
Akumulasi sisa pakan, misalnya, bisa mengendap di dasar laut dan terumbu karang. Sisa pakan bisa berubah menjadi zat racun dan mengakibatkan pemutihan terumbu karang. Di Lampung, akumulasi sudah terjadi di wilayah Tanjung Putus.
Menurut Herza, kerusakan masif terumbu karang memang belum terjadi saat ini, tetapi perlu diantisipasi. Ia menekankan penggunaan pakan yang efisien dan pemantauan dasar perairan untuk mendeteksi adanya akumulasi limbah.
Herza bersama timnya juga pernah mengembangkan rumpon untuk mengatasi masalah tersebut.  "Harapannya nanti sisa pakan bisa dimakan oleh ikan-ikan yang terkumpul di situ, tidak langsung ke dasar," urainya.
Zonasi dan perizinan
Sementara itu, Koordinator Program Akuakultur WWF Indonesia, Cut Desiana, mengatakan, untuk mengantisipasi dampak lingkungan akibat budidaya, perlu diupayakan peraturan tentang zonasi dan perizinan.
"Soal lingkungan misalnya, zonasi budidaya juga harus melihat wilayah-wilayah tertentu yang dilindungi, misalnya karena adanya terumbu karang, padang lamun, atau lokasi pemijahan ikan," jelasnya.
Menurut dia, peraturan zonasi yang dikeluarkan pemerintah saat ini belum cukup rigid. "Tata ruang pesisir ini banyak yang belum selesai. Pemerintah daerah belum aktif melakukan pendataan," ungkapnya.
Tentang perizinan, Desiana mengatakan, "Izin usaha harus di-screening bahwa lokasinya memang tepat, tidak ada potensi konflik, dilihat potensi wilayah dan kepadatannya seberapa besar."
Desi mengungkapkan bahwa studi tentang perizinan itu harus melihat daya dukung lingkungan. "Ini muaranya adalah adanya pembatasan nantinya, sesuai dengan daya dukung lingkungannya," katanya.
Menurut Desi, pemerintah harus mengadopsi standar yang kredibel dalam mengupayakan lingkungan budidaya yang baik. Selain itu, ia juga menggarisbawahi perlunya melihat akses masyarakat lokal sebab pantai merupakan fasilitas publik.
Desi mendefinisikan budidaya yang ideal dan berkelanjutan sebagai budidaya yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dan sosial.
 
Sumber : Kompas.com

Mengukur Kandungan Karbon Taman Nasional

Dua perkebunan besar seluas 2.000 hektar dan 3.153 penduduk yang sudah ada lebih dulu dalam Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur, sebelum ditetapkan menjadi Taman Nasional.

Sedikitnya 60 orang aktivis pecinta lingkungan bersama tokoh masyarakat, petani, lembaga swadaya masyarakat dan staf Taman Nasional Meru Betiri melakukan pengukuran kandungan karbon. Hasil temuan kelompok masyarakat, tercatat kandungan karbon di kawasan taman nasional itu sebesar 170 ton hingga 300 ton per hektar dalam kurun waktu tahun 2011.Ini diungkapkan kepala Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) Bambang Darmadja dan Koordinator Peneliti Gas Rumah Kaca Kantor Kementerian Kehutanan Ari Wibowo di Bandealit, Kecamatan Tempurejo, Jember, Jawa Timur, Rabu (27/4/2011). Kelompok masyarakat itu sudah bisa mengukur sendiri kandungan karbon yang terdapat di kawasan hutan taman nasional, kata Bambang Darmadja.
Sebanyak 60 kader konservasi terlatih menghitung kandungan karbon itu, sebagian besar atau 70 persen adalah kelompok tani atau pemanfaat hutan kawasan taman nasional, Lembaga Swadaya Masyarakat Konservasi Alam Indonesia Lestari (KAIL), sidanya dari staf TNMB. "Kami menghitung kandungan karbon pada 40 plot di dalam kawasan taman nasional dan setiap plot luasnya 20 x 100 meter," kata Suparman, dari kelompok tani.
Ia mengakui, tiap plot kawasan hutan di taman nasional memiliki perbedaan vegetasi sehingga antara satu vegetasi dengan lainnya memiliki kandungan karbon berbeda. Hasil pengukuran itu, terendah sekitar 170 juta ton karbon dalam tahun ini, sedang tertinggi ada yang sampai 300 ton per-hektar tahun ini.
Padahal luas kawasan Taman Nasional Meru Betiri secara administratif meliputi dua wilayah kabupaten, yakni Kabupaten Banyuwangi dan Jember sekitar 58.000 hektar. "Namun secara keseluruhan kandungan karbon sumbangan dari Taman Nasional Meru Betiri masih dihitung," kata Ari Wibowo.
Untuk itu, TNMB bekerja sama dengan Intrenastional Tropical Timber Organistion (ITTO) yang berkedudukan di Jepang ingin meningkatkan kemampuan agar kandungan karbon menjadi lebih tinggi lagi. Untuk itu, mereka memanfaatkan kelompok masyarakat dan siswa sekolah dasar supaya melakukan penanaman pohon di sekitar kawasan dan perkampungan.
Menurut Ari Wibowo, sejak tahun 2000-2005 terjadi pengalihan fungsi hutan setiap tahunnya sekitar 1,2 juta hektar. Sebelum itu, angka pengalihan fungsi hutan justru lebih tinggi. Untuk itu, melalui Reducing Emition from Deforestation and Degradation (REDD) diharapkan mampu memberi jawaban kepada dunia akan kesungguhan Indonesia memperbaiki lingkungan dengan memperbanyak kandungan karbon.
Caranya dengan melakukan penanaman pohon sebanyak-banyaknya, baik di kawasan konservasi maupun lahan milik masyarakat. "Makanya program satu milyar penenaman pohon harus benar-benar dilakukan," kata Bambang Darmadja.

Sumber : Kompas.com