Jumat, 24 Juni 2011

WHO Bantu 5.025 Kelambu kepada Warga Mukomuko

Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization -- WHO) memberikan bantuan sebanyak 5.025 lembar kelambu bagi wanita hamil di Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu, supaya bayi yang dilahirkan terhindar dari nyamuk malaria.

"Kelambu telah disalurkan ke pusat kesehatan masyarakat selanjutnya dibagikan kepada wanita hamil," kata Kepala Bidang Pencegahan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Mukomuko, Riswandi Dani, di Mukomuko, Kamis.

Ia mengatakan, bantuan ribuan kelambu yang diterima dari WHO itu langsung disalurkan oleh Dinkes kepada setiap pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) yang tersebar di seluruh kecamatan di daerah ini.

"Wanita yang melakukan pemeriksaan kehamilan di Puskesmas akan diberikan satu lembar kelambu untuk persiapan saat bayi melahirkan," urainya.

Ia menerangkan, kelambu yang dibagikan kepada warga masyarakat di daerah ini bukan sembarang pengaman dari gigitan nyamuk saja tetapi dilengkapi dengan obat yang bisa membunuh nyamuk.

"Nyamuk yang mendekati kelambu bantuan WHO ini akan mati karena pengaruh obat yang ada pada kelambu," urainya.

Ia menerangkan, sampai sekarang belum semua kelambu habis dibagikan, beberapa diantaranya masih disimpan di Puskesmas untuk persiapan bagi warga yang memiliki balita yang ingin pengaman dari nyamuk pada malam hari.

"Kelambu bantuan ini gratis diberikan kepada warga sehingga bisa membantu memberikan kenyamanan bagi bayi maupun balita pada malam hari," urainya.

Sementara salah seorang warga Bandar Ratu Budi mengatakan, kelambu bantuan dari pemerintah ini sangat membantu memberikan kenyamanan bagi anaknya tidur pada malam hari.

"Sejak hujan turun selama dua hari ini sering adanya genangan  air dan nyamuk semakin banyak, tetapi dengan menggunakan kelambu anak kami bisa terhindar dari nyamuk," jelasnya.

Kehidupan Samudra Berada di Ambang Kepunahan Massal

Kehidupan samudra berada di ambang pintu ancaman kepunahan dalam waktu tak lama lagi akibat bermacam ancaman seperti perubahan iklim dan penangkapan ikan secara berlebihan, demikian hasil satu studi yang disiarkan Selasa (21/6).

Waktu bertambah pendek untuk menanggulangi bermacam bahaya seperti ambruknya terumbu karang atau penyebaran "zona kematian" oksigen rendah, kata studi itu --yang dipimpin oleh International Program on the State of the Ocean (IPSO).

"Kita sekarang menghadapi hilangnya spesies laut dan seluruh ekosistem laut, seperti terumbu karang, dalam satu generasi saja," demikian isi studi oleh 27 ahli yang dijadwalkan diserahkan kepada PBB dan dilaporkan oleh Reuters di Jakarta, Rabu.

"Jika tak ada tindakan yang dilakukan sekarang, konsekuensi ulah kita berisiko mengakibatkan , melalui dampai gabungan perubahan iklim, eksploitasi berlebihan, polusi dan kehilangan habitat, peristiwa penting kepunahan secara global," katanya.

Para ilmuwan mendaftar lima kepunahan massal selama 600 juta tahun --yang paling akhir ketika dinosaurus punah 65 juta tahun lalu, tampaknya setelah satu asteroid menghantam Bumi. Di antaranya, periode Permia tiba-tiba berakhir 250 juta tahun lalu.

Priode Permia berlangsung dari 290 sampai 248 juta tahun lalu dan adalah priode terakhir Era Paleozoic. Kepunahan antara Paleozoic dan Mesozoic terjadi pada akhir priode Permia sebagai pengakuan atas kepunahan massal terbesar yang tercatat dalam sejarah kehidupan Bumi.

Peristiwa tersebut mempengaruhi banyak kelompok organisme di bermacam lingkungan hidup, tapi itu paling mempengaruhi kehidupan laut, sehingga mengakibatkan kepunahan sebagian besar hewan laut tak bertulang belakang saat itu.

"Temuan ini mengejutkan," tulis Direktur Ilmiah IPSO,Alex Rogers mengenai kesimpulan dari lokakarya 2011 oleh para ahli kelautan. Kegiatan tersebut dilaksanakan oleh IPSO dan International Union for Conservation of Nature (IUCN) di Oxford University.

Ikan adalah sumber utama protein bagi seperlima penduduk Bumi dan lingkaran oksigen lautan dan membantu menyerap karbon dioksida, gas utama rumah kaca akibat ulah manusia.

Oksigen
Jelle Bijma, dari Alfred Wegener Institute, mengatakan lautan menghadapi "trio ancaman mematikan" temperatur yang lebih tinggi, pengasaman dan kekurangan oksigen, yang dikenal sebagai anoxia, yang telah muncul dalam beberapa kepunahan massal pada waktu lalu.

Penimbunan karbon dioksida membuat planet Bumi bertambah panas.

Panel ilmuwan iklim PBB menuding penggunaan bahan bakar fosil oleh manusia sebagai penyebab utama peristiwa tersebut.

"Dari sudut pandang geologi, kepunahan massal terjadi dalam sekejap mata, tapi menurut skala waktu manusia kita mungkin tak menyadari bahwa kita berada di tengah peristiwa semacam itu," tulis Bijma.

Studi itu menyatakan penangkapan ikan secara berlebihan adalah kondisi paling mudah yang bisa diubah oleh manusia --menanggulangi pemanasan global berarti beralih dari bahan bakar fosil, misalnya, dengan energi yang lebih bersih seperti enegi angin dan surya.

"Tak seperti perubahan iklim, itu dapat secara langsung, secepatnya dan secara efektif ditangani melalui perubahan kebijakan," kata William Cheung dari University of East Anglia.

"Penangkapan ikan secara berlebihan sekarang diperkirakan mencapai lebih dari 60 persen dari kepunahan ikan laut lokal dan global yang diketahui," tulis Cheung.

Di antara contoh penangkapan ikan secara berlebih adalah ikan bahaba China --yang panjang tubuhnya bisa mencapai dua meter. Harga per kilo sirip ikan itu --yang dipercaya memiliki kandungan obat-- telah naik dari beberapa dolar AS pada 1930-an jadi 20.000-70.000 dolar AS saat ini.

Pembalakan Hutan Ganggu Ekosistim di Laut

Ilustrasi Hutan

Semakin jauh jarak tangkap komoditi yang merupakan keunggulan Kota Bitung, ternyata dipengaruhi oleh pembabatan hutan secara berlebihan, sehingga mengganggu ekosistem di laut.

Kepala Syahbandar Kota Bitung, Endang Sunaryo, di Bitung, Jumat mengatakan, berkurangnya bahan baku ikan yang merupakan hasil laut Kota Bitung, ternyata bukan hanya kesalahan penduduk pesisir atau nelayan, namun lebih kepada pembalakan hutan yang secara liar dilakukan.

"Hutan dipegunungan yang dibabat habis juga merupakan salah satu sebab menjauhnya ikan-ikan, karena laut juga membawa unsur hara dari pegunungan yang bisa mempertahankan populasi ikan dilaut," jelas Sunaryo.

Bahkan Sunaryo tegaskan, bukan cuma hutan saja yang miskin tapi laut pun ikutan miskin, hingga menyebabkan kenaikan harga bahan baku tersebut.

"Kenaikan harga ikan tentunya akan sangat meresahkan warga sehingga dari unsur tadi kiranya dapat diperhatikan oleh masayarakat maupun Pemerintah terkait," ungkapnya lagi.

Adapun jenis ikan yang berada dipasaran lokal meliputi cakalang, ikan tude, malalugis dan lainnya.

Sunaryo katakan, untuk kegiatan bongkar muat kapal ikan di pelabuhan Aertembaga, saat ini masih seperti biasanya.

"Dimana setiap kapal ikan yang tiba di Pelabuahan ini, harus melaporkan jumlah ikan yang ditangkap, karena selain untuk dilaporkan ke Jakarta juga untuk mendapatkan rekomendasi Bahan Bakar Minyak berjenis solar bagi pemilik kapal.

Namun demikian, Sunaryo katakan bahwa rekomendasi tersebut hanya dikhususkan bagi kapal-kapal yang berbahan bakar solar.

"Kalau perahu kecil hanya berkekuatan 5 sampai 10 Gross ton dengan berbahan bakar premium, tentunya tidak akan mendapatkan rekomendasi, karena hal ini hanya dikhususkan bagi kapal yang berbahan bakar solar," jelasnya. 

Laju Kerusakan Hutan Capai 0,7 Juta Hektar

Ilustrasi Kerusakan Hutan
Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X menyatakan bahwa laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai 0,7 juta hektar per tahun.

Dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Harnowati pada peringatan Hari Lingkungan Hidup se Dunia Tingkat Provinsi DIY di Rest Area Hutan Bunder Kabupaten Gunung Kidul, Kamis, Sultan mengatakan laju kerusakan hutan setiap tahun tersebut tidak sebanding dengan pemulihan hutan yang hanya mencapai 0,5 juta hektare per tahun.

Menurut Sultan kerusakan hutan dan alih fungsi lahan memperburuk kondisi hutan di Indonesia. Kerusakan lingkungan memicu potensi bencana alam di berbagai daerah di Indonesia.

"Lingkungan hidup saat ini semakin tidak kondusif, misalnya maraknya pencemaran bakteri E-Coli, menurutnya kesuburan tanah dan hutan yang gundul akibat pembalakan liar," katanya.

Ia mengatakan untuk menyelesaikan persoalan lingkungan hidup, seluruh pihak semestinya memiliki kesadaran untuk aktif menjaga kelestarian hutan sebagai penyangga dunia. Kesadaran untuk menjaga keberadaan hutan bisa dilakukan dengan cara menanam pohon.

Gerakan penanaman satu miliar pohon di Indonesia bisa menjadi salah satu solusi penyelamatan hutan.

"Rehabilitasi dan konservasi hutan perlu didukung dengan konsep tata ruang yang baik. Penyelamatan hutan penting untuk mendukung kualitas hidup dan lingkungan yang sehat," katanya.

Puncak peringatan Hari Lingkungan Hidup se Dunia tingkat Provinsi DIY tersebut ditandai dengan pelepasan berbagai jenis satwa burung ke habitatnya oleh Kepala BLH DIY Harnowati.