Selasa, 12 April 2011

Ekowisata Mangrove Dipadati Warga

Perahu nelayan yang akan membawa pengunjung Wisata Anyar Mangrove Surabaya menelusuri hutan bakau

Warga Kota Surabaya dan sekitarnya memanfaatkan hari libur yang bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dengan berkunjung ke tempat wisata. Salah satu lokasi wisata baru yang menarik minat warga adalah ekowisata mangrove di Pantai Timur Surabaya.
Sejak Selasa (15/2/2011) pukul 06.00, kawasan Ekowisata yang terletak di Kelurahan Wonorejo, Kecamatan Rungkut, itu sudah didatangi ratusan pengunjung. Rombongan pengunjung itu sengaja datang pagi hari agar bisa ikut menanam bibit bakau di area ekowisata tersebut.
Wahid, penjaga loket di dermaga ekowisata mangrove Wonorejo menuturkan, kawasan hutan bakau yang mulai dibuka sebagai lokasi ekowisata sejak awal tahun 2010 lalu itu kini memang mulai ramai dikunjungi warga. "Kalau Sabtu, Minggu, dan hari libur, pengunjungnya ramai. Dalam sehari pemasukan dari tiket perahu bisa Rp 3 juta sampai Rp 4 juta," katanya.
Untuk menikmati keelokan hutan bakau ini, pengelola menyediakan perahu dengan tarif Rp 25.000 per orang. Pengunjung akan dibawa melintasi Sungai Londo ke lokasi hutan bakau. Di kawasan ekowisata tersebut, pengunjung bisa melihat rerimbunan hutan bakau alami.
Menurut Wahid, selain melihat hutan bakau dan aneka jenis tanaman serta hewan yang berada di kawasan tersebut, pengunjung juga bisa menanam pohon bakau. "Kalau untuk edukasi dengan menanam bibit bakau, pengunjung bisa memesan terlebih dulu harinya mau kapan," ujarnya.
Pengunjung tampak antusias menjelajahi kawasan ekowisata tersebut. Meskipun cuaca mendung, mereka tidak mengurungkan niatnya untuk naik perahu hingga ke bagian muara sungai.
Salah seorang pengunjung, Ester dari Kota Surabaya menuturkan, ia datang ke kawasan ekowisata itu bersama keluarga besarnya. "Sebenarnya sudah penasaran sama tempat ini sejak lama. Kebetulan rumah saudara kami berada tak jauh dari sini, makanya kami sekalian ke sini," katanya.
Ketua pengelola Ekowisata Mangrove Wonorejo, Djoko Suwondo, menuturkan, kawasan ini dibuka untuk umum pada hari Sabtu, Minggu, dan hari libur. Sedangkan pada hari Senin hingga Jumat, kawasan ini biasa dikunjungi oleh rombongan yang hendak menanam bibit bakau.
Menurut Djoko, pembukaan ekowisata ini tidak hanya bermanfaat bagi warga Wonorejo, namun juga bagi lingkungan. Dengan mengikuti aktivitas menanam bibit bakau, pengunjung diajak lebih peduli terhadap lingkungan. 

Sumber : Kompas.com

Mangrove Hambat Perubahan Iklim



Hasil penelitian terbaru menunjukkan bahwa mangrove memberi sumbangan sangat potensial untuk mengurangi emisi karbon dibanding hutan hujan tropis. Masalahnya, mangrove terus mengalami kerusakan dengan cepat di sepanjang garis pantai, sejalan dengan persoalan emisi gas rumah kaca.
Para ahli dari Center for International Forestry Research (Cifor) dan USDA Forest Service menekankan perlunya hutan mangrove dilindungi sebagai bagian dari upaya global dalam melawan perubahan iklim.
"Kerusakan mangrove saat ini sudah pada tingkat yang menghawatirkan. Ini harus dihentikan. Penelitan kami menunjukkan bahwa hutan mangrove mempunyai peranan kunci dalam strategi mitigasi perubahan iklim," kata Daniel Murdiyarso, peneliti senior dari Cifor, Selasa (5/4/2011) malam.
Daniel mengemukakan, pada 15 -20 tahun lalu, luas hutan mangrove Indonesia masih sekitar 8 juta hektar. Saat ini diperkirakan tinggal 2,5 juta hektar.
Cifor mengungkapkan, sebuah studi yang dipublikasikan pada 3 April 2011 dalam Nature GeoScience, para ahli mengukur cadangan karbon dalam hutan mangrove berdasarkan atau luas areal wilayah Indo-Pasifik. Tidak ada studi selama ini yang mengintegrasikan pentingnya mengukur total cadangan karbon mangrove berdasarkan geografi atau luas wilayah hutan mangrove.
Dari hasil-hasil tersebut, para ahli mengestimasi bahwa tingkat pembusukan dan penguraian di hutan mangrove lebih cepat daripada hutan di daratan. Sebagian besar karbon disimpan di bawah hutan mangrove, yang dapat dilihat, yakni antara tanah dan air.  
Mangrove hidup sepanjang pantai dari sebagian besar laut-laut utama di 188 negara. Sebanyak 30 sampai 50 persen berkurangnya mangrove sepanjang setengah abad lalu telah menimbulkan ketakutan. Sebab, bisa jadi mangrove akan punah seluruhnya dalam kurun waktu kurang dari 100 tahun.
Kelanjungan mangrove juga terancam oleh tekanan pertumbuhan kota dan pembangunan industri, sebagaimana ancaman dari pertumbuhan tambak atau fish farm yang tidak terkendali.
"Saat ini belum ada kesadaran akan bahaya kehilangan mangrove bagi kelangsungan kehidupan umat manusia. Sehingga, setiap pemerintah harus ditekan agar menyadari pentingnya dan membuat kebijakan yang dapat melindungi hutan mangrove," kata Daniel. 

Sumber : Kompas.com

Waspada, Malaysia Incar Budaya Kerinci!





Ilustrasi

Budayawan Jambi asal Kerinci, Nukman SS, mengatakan, kebudayaan dan sko (sistem matrilineal dalam upacara adat Kerinci) saat ini ibarat "gadis cantik" yang tengah diincar oleh asing, khususnya oleh Pemerintah Diraja Malaysia.

"Saya melihat ada gelagat tidak tulus dari berbagai kepedulian terhadap pemeliharaan Kebudayaan Kerinci yang dilakukan Pemerintah Diraja Malaysia belakangan ini. Boleh saja kita katakan mereka saat ini tengah mengincar kebudayaan dan sko Kerinci untuk diklaim," kata budayawan Jambi asal Kerinci, Nukman SS, saat dihubungi di Jambi, Minggu (27/3/2011).
Gelagat itu, tambah Nukman, sebenarnya sudah terbaca jauh-jauh hari ketika semenjak awal 1990-an, peneliti-peneliti dari Malaysia mulai berdatangan dan didatangkan ke Kerinci membawa misi riset budaya. Hingga saat ini, Kerinci masih menjadi obyek riset budaya yang dominan oleh para peneliti negeri jiran tersebut.
"Di samping itu, perhatian lebih yang diperlihatkan Pemerintah Diraja Malaysia belakangan ini terhadap Kerinci terkesan ada niatan terselubung yang mesti diwaspadai pemkab dan masyarakat Kerinci," ujar Nukman.
Malaysia, imbuhnya, jelas-jelas sudah terlihat tengah mengincar sko atau produk-produk budaya warisan leluhur masyarakat Kerinci untuk nantinya mereka klaim sebagai budaya negeri mereka. Menurutnya, semua pihak perlu mewaspadai gelagat itu, jangan sampai terlena oleh manuver perhatian berlebihan dan iming-iming Pemerintah Malaysia.
Asumsi tersebut, tambahnya, tidak saja dari dugaan semata. Hal ini terasa lebih jika menilik berbagai kasus pengklaiman kebudayaan Indonesia oleh negeri jiran tersebut sebelum ini. Kesemua klaim yang pernah mereka lakukan antara lain atas kebudayaan batik, reog, rendang, lagu "Rasa Sayange", lagu "Injit-injit Semut", angklung, dan tari pendet.
Semua klaim tersebut nyata-nyata telah memunculkan protes keras dari pemerintah dan masyarakat Tanah Air karena semua yang diklaim itu adalah budaya-budaya Indonesia yang populer di mata dunia dan diakui keberadaannya sebagai kebudayaan RI oleh Unesco. Namun, sebagai negara serumpun yang memiliki akar kultural yang sama, Indonesia tetap menjadi incaran mereka dalam membangun identitas kebudayaan negaranya.
Oleh karena itulah, mereka mulai meramu rencana dan strategi baru guna mencari cara yang aman dari protes masyarakat RI dan dunia. Salah satu caranya adalah dengan mencari negeri lain di Indonesia yang tidak terlalu populer keberadaannya, kurang diperhatikan atau dipedulikan pemerintahnya, tetapi kaya tradisi dan budaya asli.
Tentu saja negeri yang dipilih adalah negeri yang dinilai memiliki kisah kedekatan dengan mereka, baik secara kultural, maupun historis.
Para peneliti akan didatangkan dan berdatangan ke negeri tersebut dengan dalih melakukan riset. Semua itu adalah cara mereka untuk mengumpulkan atau mendata kekayaan tradisi masyarakat bersangkutan.
Langkah berikutnya, mereka akan memulai tahap pendekatan seperti salah satunya memfasilitasi berbagai fasilitas dan keperluan pengembangan kebudayaan masyarakat di negeri tersebut. Contohnya, mereka akan memberikan berbagai macam hadiah dan hibah, mulai dari bantuan bangunan fisik seperti museum, bantuan hibah finansial, pengiriman cendera mata persahabatan kepada kepala daerah bersangkutan.
Lalu berikutnya bisa dipastikan bahwa mereka akan menyusul dengan pemberian atau penobatan gelar kebangsawanan kepada tokoh di negeri tersebut secara langsung oleh Raja yang Dipertuan Agung, bisa juga dari raja-raja di negara bagiannya, bahkan dari pemerintahnya.
Setelah itu, mereka akan mencoba merancang dan merekayasa rangkaian hubungan silsilah kekerabatan sosial, kultural dan historis dengan negeri tersebut dengan Malaysia, berdasarkan berbagai temuan data dan fakta riset yang telah didapatkan para peneliti yang mereka kirim sebelum-sebelumnya.
Mereka kemudian akan memulai tahap akhir yang diawali dengan kampanye tentang rekayasa yang telah mereka susun tersebut kepada publik sehingga asumsi masyarakat bergeser kepada mereka. Sebagai pemungkasnya, mereka akan mengklaim produk budaya negeri bersangkutan yang telah mereka kumpulkan dan teliti tersebut menjadi hak milik negara mereka.
"Kerinci adalah negeri baru yang mereka incar tersebut. Alasannya, Kerinci yang memiliki banyak kebudayaan asli dan masih murni hingga kini tersebut masih terbilang negeri yang masih sangat lugu dan kurang mendapat perhatian dari pemerintah, khususnya pemerintah pusat, dibandingkan daerah-daerah pariwisata lainnya," beber Nukman.
Terciumnya jejak sejarah kekerabatan masyarakat Kerinci dengan Malaysia telah dimulai dengan banyaknya warga Kerinci yang jadi perantauan di Malaysia. Hal ini sudah berlangsung dari zaman nenek moyang mereka dulu.
"Karena itulah, langkah pendekatan mereka kini sudah lebih meningkat ke tahap lanjutan, yakni dengan memulai menunjukkan kepedulian dan perhatian kepada Kerinci. Indikasinya adalah hadiah atau hibah bangunan Museum Kebudayaan Kerinci yang dibangun di Malaka, khusus untuk menampung kebudayaan masyarakat Kerinci. Bupati Kerinci telah diundang Diraja Malaysia untuk meresmikan keberadaan museum tersebut pada April mendatang," ungkap Nukman.
Nanti, tambahnya, keberadaan museum tersebut membuka peluang bagi mereka untuk secara aman menarik atau memindahkan keberadaan sko-sko dari Umah Gdang, rumah adat penyimpanan sko desa-desa di Kerinci, yang sebelumnya sangat tertutup dan dijaga dengan sangat ketat oleh pkaum. Berikutnya, tambahnya, bisa dilihat pada saat momentum ketika pihak pemerintah dan atau Diraja Malaysia akan memberikan cindera mata atau bahkan mungkin akan menganugerahkan gelar kebangsawanan kepada Bupati seperti langkah ketiga, untuk menyanjung sekaligus mengikat Kerinci.
Saat itu juga dipastikan akan mulai dikampanyekan mengenai bagaimana hubungan kedekatan dan kekerabatan Malaysia-Kerinci sehingga pejabat daerah Kerinci merasa sangat tersanjung dan merasa mendapat apresiasi yang selama ini tidak mereka dapatkan dari Pemerintah RI.
"Itulah strategi menuju invasi pengklaiman yang akhirnya akan mereka lakukan. Gelagat itu sudah jelas terbaca. Pasalnya, hal serupa juga sudah sering mereka lakukan tehadap daerah-daerah lain sebagai cara awal pra-pengklaiman terjadi, seperti terhadap Pemerintah Sumbar, Aceh, Sumsel, Riau, dan terakhir Jambi," sebut Nukman.
Namun, selama mereka gagal karena kuatnya proteksi kebudayaan oleh sistematika adat daerah bersangkutan, tidak ada celah bagi mereka untuk melakukan klaim. Beberapa kebudayaan memang berhasil mereka klaim, seperti motif songket Pucuk Rebung Riau yang berhasil mereka curi dan terjemahkan dalam bentuk bangunan, yakni kubah Menara Kembar tertinggi di dunia yang kini menjadi ikon Malaysia.
"Sementara itu, beberapa bentuk kebudayaan lainnya termasuk rendang dari Padang, gagal mereka klaim. Khusus untuk invasi tahap kedua yang obyeknya adalah Kerinci, sepertinya mereka berpeluang besar untuk berhasil mendapatkan klaim baru terhadap beberap sko asli masyarakat Kerinci, khususnya terhadap naskah-naskah kuno Kerinci," kata Nukman.
Oleh karena itulah, ia mengingatkan pemkab dan masyarakat Kerinci untuk mewaspadai berbagai iming-iming berbuntut tipu daya yang ditunjukkan Malaysia.
"Jangan sampai nantinya ditemukan produk budaya asli masyarakat Kerinci yang berpindah tangan ke negeri jiran yang mungkin saja jadi ikon kebudayaan mereka yang baru. Pemerintah pusat melalui Kemenbudpar juga harus turut membantu memantau gelagat tersebut. Bahkan, Budpar wajib membantu masyarakat Kerinci melestarikan dan mengembangkan kebudayaannya sehingga terproteksi dari klaim negara lain yang mengancam," tandasnya. 

Sumber : Kompas.com

Malaysia Boyong Benda Pusaka Kerinci!






Dewan Kesenian Jambi (DKJ) menyerukan agar segenap masyarakat adat di Provinsi Jambi dan Kabupaten Kerinci khususnya bisa kompak melakukan perlawanan terhadap manuver Malaysia yang terus memboyong sko, yaitu benda-benda pusaka dari  Kerinci ke negeri jiran tersebut.

"Kami menyerukan agar segenap masyarakat, budayawan, dan seniman Jambi khususnya yang berdomisili di Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh untuk tidak tinggal diam melihat adanya gelagat Malaysia yang terus memboyong benda sko dari Kerinci," kata Ketua harian DKJ Naswan Iskandar SE, saat dihubungi di Jambi, Minggu (10/4/2011).
Menurut dia, sko Kerinci adalah aset kebudayaan utama bagi provinsi Jambi karena tidak ada kabupaten lain di Jambi yang memiliki peradaban begitu lengkap dan runut seperti Kerinci. Karena itu, segala upaya harus dilakukan untuk menyelamatkan aset besar tersebut.
"Upaya penyelematan tidak cukup hanya dilakukan oleh masyarakat setempat, pemerintah daerah juga harus memiliki political will, kemauan atau kesadaran untuk melakukan upaya-upaya revitalisasi dan proteksi," kata dia.
Pemkab, kata dia, tak seharusnya lantas gelap mata karena tersanjung mendapat apresiasi Pemerintah Diraja Malaysia yang menghibahkan museum kebudayaan Kerinci di Malaysia.
Hal tersebut justru semestinya dicurigai karena sangat berkemungkinan adanya niat halus Pemerintah Malaysia ingin memindahkan keberadaan sko-sko Kerinci ke negerinya.
Upaya proteksi semestinya dilakukan sedari awal, baik dengan bentuk segera mematenkan berbagai produk budaya tersebut ataupun menjadikan aset tersebut jadi materi penting dalam kependidikan, baik formal maupun nonformal.
Apalagi saat sekarang pemerintah pusat melalui Kemenbudpar tengah gencar mendaftarkan produk budaya bangsa RI ke UNESCO, semestinya Kerinci memanfaatkan kesempatan ini, katanya.
Beberapa sko Kerinci sangat khas dan langka, tidak ditemukan ada di tempat lain, seperti halnya naskah melayu tertua berupa kita undang-undang di Desa Tanjung Tanah yang merupakan warisan dari raja Melayu pra-Islam, yakni Adityawarman.
Lalu beberapa bentuk budaya lainnya seperti aksaran Incoung, seni bersenandung Tale, tradisi tutur Kunoun dan Kba, berbagai seni pertunjukan tradisional seperti tarian, teater, dan atraksi warisan budaya megalitik seperti tari asek, tari rangguk, marcok. Begitu juga dengan warisan sastra berupa mantra, pantun, seloko, penno, tambo, dan lain sebagainya.
"Kesemua itu tidak ditemukan lagi di daerah lain di provinsi Jambi, masyarakat Kerinci malah harus berbangga karena telah mampu merawat dan melastarikan keberadaannya hingga jadi warisan budaya yang luhur dan abadi hingga kini," ucap Naswan.
Abadinya berbagai aset seni budaya warisan leluhur masyarakat Kerinci khususnya aset benda seperti naskah, senjata, jimat, dan lain sebagainya, menurut Naswan, salah satu faktornya adalah karena masyarakat adat Kerinci sedari dulu telah memiliki sistem pemeliharaan atau penyimpananan yang khas dan terbukti kearifannya.
"Di Kerinci itu di setiap dusunnya memiliki museum sendiri, yakni berupa rumah adat yang juga sekaligus menjadi balairung dan istana para depati (para pemimpin adat). Di situ benda-benda pusaka yang disebut sko itu di simpan dan dijaga sedemikian ketatnya hingga hanya bisa dikeluarkan dalam waktu tertentu dengan dengan ritual yang sangat ketat pula," terangnya.
Tidak hanya itu, tambahnya, sko-sko Kerinci itu disimpan di tempat yang berbeda dari pada umumnya, yakni di atas para (di atas loteng atau bumbungan atap) dibungkus kain dan dimasukkan ke dalam peti.
"Jadi sangat riskan dan dikhawatirkan kalau penyimpanannya berpindah ke museum, apalagi museum di Malaysia justru akan mempercepat kerusakan karena ketidakcocokannya sistem perawatan yang digunakankan itu namanya sangat berbahaya," katanya.
Karena itu, pemkab dan masyarakat Jambi, khususnya Kerinci, harus berupaya melawan setiap niatan untuk memindahkan aset kebudayaannya tersebut ke negeri lain, palagi kalau memang sudah tercium adanya gelagat akan terjadinya pengklaiman.
"Kapan perlu kerahkan aksi massa guna menolak, kalau ada pihak yang tetap memaksa hendak membawa atau memindahkan sko Kerinci tersebut ke Malaysia, DKJ siap membantu memperjuangkan hak budaya masyarakat Kerinci tersebut," katanya. 

Sumber : Kompas.com

Museum Kerinci Dibangun di Malaysia

Jambi, Kompas - Museum Kerinci yang dibangun di Kuala Lumpur dengan bantuan dana dari Pemerintah Malaysia akan diresmikan Bupati Kerinci Murasman, pekan depan. Dikhawatirkan, benda-benda bersejarah yang ada di Kabupaten Kerinci akan dibawa ke negeri jiran tersebut.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi, Arlis, Senin (11/4), mengatakan, Museum Kerinci dibangun di dalam kompleks Sekolah Kebangsaan di Kuala Lumpur. Pemerintah Kabupaten Kerinci telah mengirimkan sejumlah benda peninggalan budaya dan sejarah Kerinci untuk dipamerkan, seperti alat musik gong ketuk, rebana sikek, sandu (sejenis seruling), dan gendang kerinci dari kayu surian.
Selain itu, juga beragam jenis alat pertanian, seperti tangkai beliung untuk menebang kayu, luka belut (alat menangkap belut di sungai) dari bambu, dan jangki dari rotan (untuk menyimpan benda bawaan). Pemerintah Kabupaten Kerinci juga menyiapkan sejumlah naskah beraksara kuno serta berbagai jenis pakaian adat.
”Barang asli tetap disimpan di Kabupaten Kerinci, sedangkan di museum tersebut nantinya hanya duplikatnya,” kata Arlis.
Menurut Arlis, dalam peresmian pembukaan Museum Kerinci pekan depan akan ditampilkan sejumlah tarian asli Kabupaten Kerinci, seperti tari Ranggut, tari Pengobatan, dan Ngaji Adat. Museum akan diresmikan Bupati Kerinci Murasman dan disaksikan sejumlah pejabat Pemerintah Malaysia, termasuk Menteri Kebudayaan Malaysia.
Arlis menambahkan, keberadaan Museum Kerinci akan mempererat hubungan antara Kabupaten Kerinci dan Malaysia. Selama ini banyak warga Kerinci yang telah menjadi warga negara Malaysia rindu menyaksikan budaya khas Kerinci. ”Ada kedekatan budaya antara Kerinci dan Malaysia,” tuturnya.
Disesalkan
Ketua Harian Dewan Kesenian Jambi Naswan Iskandar menyayangkan tindakan Pemkab Kerinci yang sangat antusias menyiapkan Museum Kerinci di Malaysia. Padahal, hingga saat ini Kerinci belum memiliki museum di daerahnya sendiri.
”Itu namanya pemkab ceroboh. Kenapa tidak membangun museum sendiri, malah membantu pembangunannya di Malaysia?” kata Naswan.
Ia menduga keberadaan Museum Kerinci di Kuala Lumpur akan diikuti dengan diboyongnya benda-benda pusaka milik Kerinci. Ia juga mengkhawatirkan bakal adanya klaim budaya Kerinci oleh Malaysia.
Padahal, Kerinci selama ini dikenal memiliki budaya tertua di Jambi, serta memiliki kekayaan peninggalan bersejarah yang cukup lengkap. Salah satu peninggalan tersebut adalah naskah Melayu tertua berupa Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah yang membuktikan bahwa peradaban setempat telah memiliki aksara dan sistem hukum sendiri setidaknya mulai abad XIV.
Selain itu, Kerinci juga memiliki bentuk budaya lainnya, seperti seni Tale (bersenandung) dan tradisi Kunoun (tutur). Ada juga pertunjukan seni budaya megalitik sastra mantra, pantun, seloko, penno, dan tambo.

Sumber : Kompas.Com

Malaysia Kembali "Menampar" Kita

Gara-gara orang Malaysia mendirikan Museum Kerinci di negerinya, nama Kerinci mendadak melambung. Sama dan sebangun saat negeri jiran itu mengaku-aku seni reog ponorogo, tari pendet, lagu "Rasa-sayange", masakan rendang, dan produk-produk budaya kita lainnya sebagai milik orang Malaysia. Kita pun berang, merasa "ditampar". Yang menyedihkan adalah, kerapnya kita tertampar justru oleh kelalaian kita sendiri yang tak becus mengurus kebudayaan kita sendiri.

Malaysia... Malaysia... Apapun alasan dan landasan dari pendirian Museum Kerinci di Malaysia adalah sebentuk kenyataan, betapa di satu sisi ada semangat Malaysia untuk mengenali akar budayanya yang secara historis memang berada di tanah Indonesia. Di sisi lain, ada fakta bahwa kita tak pernah bersungguh-sungguh mengurusi budaya kita, dan ketika budaya itu "diambil" oleh bangsa lain yang hendak merawatnya, kita pun merasa dipecundangi.

Sebagai bangsa yang boleh dikata tak "memiliki" akar budaya di tanah airnya, Malaysia tentu akan berjuang menemukan kembali jejak kakek moyangnya. Kebudayaan Kerinci adalah salah satu pokok akar itu. Maka tak heran jika, sejak tahun 1990, orang Malaysia sudah melakukan riset mendalam mengenai budaya Kerinci.

Seperti diungkapkan budayawan Jambi asal Kerinci, Nukman SS, saat dihubungi di Jambi, Minggu (27/3/2011). "Gelagat itu sebenarnya sudah terbaca jauh-jauh hari ketika, semenjak awal 1990-an, peneliti-peneliti dari Malaysia mulai berdatangan dan didatangkan ke Kerinci membawa misi riset budaya. Hingga saat ini, Kerinci masih menjadi obyek riset budaya yang dominan oleh para peneliti negeri jiran tersebut," ungkap Nukman.

Maka marilah kita lihat, benda dan kekayaan budaya Kerinci apa sajakah yang dibawa ke museum di Malaysia itu. Menurut Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi, Arlis, Senin (11/4/2011), Museum Kerinci dibangun di dalam kompleks Sekolah Kebangsaan di Kuala Lumpur. Pemerintah Kabupaten Kerinci telah mengirimkan sejumlah benda peninggalan budaya dan sejarah Kerinci untuk dipamerkan, seperti alat musik gong ketuk, rebana sikek, sandu (sejenis seruling), dan gendang kerinci dari kayu surian.

Selain itu, ada juga beragam jenis alat pertanian, seperti tangkai beliung untuk menebang kayu, luka belut (alat menangkap belut di sungai) dari bambu, dan jangki dari rotan (untuk menyimpan benda bawaan). Pemerintah Kabupaten Kerinci juga menyiapkan sejumlah naskah beraksara kuno dan berbagai jenis pakaian adat.

Menurut Arlis, dalam peresmian pembukaan Museum Kerinci pekan depan akan ditampilkan sejumlah tarian asli Kabupaten Kerinci, seperti Tari Ranggut, Tari Pengobatan, dan Ngaji Adat. Museum akan diresmikan Bupati Kerinci Murasman dan disaksikan sejumlah pejabat Pemerintah Malaysia, termasuk Menteri Kebudayaan Malaysia.

Banyak memang yang menyayangkan "budi baik" pejabat Pemda Kabupaten Kerinci yang dengan sukarela mempersilakan orang Malaysia membawa warisan budayanya. Mereka yang menyayangkan hal itu antara lain Dewan Kesenian Jambi (DKJ) yang menyerukan agar segenap masyarakat adat di Provinsi Jambi dan khususnya Kabupaten Kerinci bisa kompak melakukan perlawanan terhadap manuver Malaysia yang terus memboyong sko, yaitu benda-benda pusaka, dari Kerinci ke negeri jiran tersebut.

"Kami menyerukan agar segenap masyarakat, budayawan, dan seniman Jambi, khususnya yang berdomisili di Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh, untuk tidak tinggal diam melihat adanya gelagat Malaysia yang terus memboyong benda sko dari Kerinci," kata Ketua Harian DKJ Naswan Iskandar SE saat dihubungi di Jambi, Minggu (10/4/2011).

Menurut Iskandar, sko Kerinci adalah aset kebudayaan utama bagi Provinsi Jambi karena tidak ada kabupaten lain di Jambi yang memiliki peradaban begitu lengkap dan runut seperti Kerinci. Oleh karena itu, segala upaya harus dilakukan untuk menyelamatkan aset besar tersebut.

"Upaya penyelamatan tidak cukup hanya dilakukan oleh masyarakat setempat. Pemerintah daerah juga harus memiliki political will, kemauan atau kesadaran untuk melakukan upaya-upaya revitalisasi dan proteksi," kata dia.

Pemkab, kata dia, tak seharusnya lantas gelap mata karena tersanjung mendapat apresiasi Pemerintah Diraja Malaysia yang menghibahkan museum kebudayaan Kerinci di Malaysia.

Hal tersebut justru semestinya dicurigai karena sangat berkemungkinan mengandung niat halus Pemerintah Malaysia untuk memindahkan keberadaan sko-sko Kerinci ke negerinya.

Sementara Malaysia pada pekan depan berencana membuka museum Kerinci dengan "pesta" yang menyenangkan, kita di sini hanya bisa mengelus dada. Sebagian pasrah, sebagian mengutuk aksi "pemboyongan" benda-benda pusaka Kerinci itu, dan sebagian lainnya sinis kepada pengelola negeri ini.

Puluhan komentar pun muncul berhamburan dari pembaca oase.kompas.com. Di antaranya dari Asanah yang mengatakan, "Pertanyaannya kenapa Pemerintah Indonesia kurang menghargai/peduli dengan sejarah bangsa sendiri?! Coba kalau dilestarikan atau dibangun museum di daerah tempat sejarah itu berasal, itu kan bisa untuk salah satu daya tarik daerah itu sendiri bagi para wisatawan.... Negara korup jadi lupa akan sejarahnya karena negara yang besar adalah negara yang menghargai sejarahnya...."

Indah Wahyu menulis begini, "Terima kasih kepada Pemerintah Malaysia yang mau menghargai budaya dan sejarah negara tetangga sampai mau repot-repot bangunin museum di Kuala Lumpur segala... Terima kasih karena Pemerintah Malaysia membuka mata kami... Biarpun Anda dicaci maki orang Indonesia, sebenarnya Anda yang selalu membangkitkan semangat nasionalisme kami yang kadang sudah kami pikir usang...."

Sementara itu, Mawardi mengungkapkan, "Sedih... banyak hal negeri ini belum bisa menghargai diri sendiri, baik sejarah, kebudayaan, intelektual, dan lain-lain. bagaimana bisa dihargai bangsa lain kalau dirinya sendiri tidak pernah dihargai... Ingat, Indonesia dibentuk dari kebinekaan... Kebinekaan untuk semua bukan milik masing-masing... Indonesia banyak sejarah, tetapi dokumen sejarah Indonesia yang memegang dan memiliki adalah bangsa lain sehingga generasinya tidak tahu sejarah bangsanya... Sedih...."

Kita memang pantas kecewa dengan pengelola negeri ini, dari tingkat pusat hingga daerah, seperti diutarakan Suci Handayani, "Mmm, miris membacanya. Kalau sudah begini, baru deh diperhatiin. Kemarin ke mana aja? Ya mungkin mereka hanya ingin dihargai karena semua butuh pengakuaan. Kalau di negeri sendiri saja tidak diurusi, mengapa harus menolak sesuatu yang menghargai dan mengakui kebudayaan mereka! Ya seharusnya memang harus lebih menjalin komunikasi dulu dengan pemerintah kita!"

Nah, kini, apa komentar Anda, saudara?
 
Sumber : Kompas.com

Sekolah Ambruk Masih Ditempati

Kegiatan belajar mengajar di SDN Kodik, Kecamatan Proppo, Pamekasan, Jawa Timur, Selasa (12/4/2011), terpaksa ditiadakan. Sebab, semua siswa dan para gurunya melaksanakan gotong royong membersihkan tiga kelas yang ambruk.
Mereka sibuk mengeluarkan barang-barang, seperti bangku dan lemari, yang masih ada di dalam kelas.
Sekolah yang jaraknya 2 kilometer dari jantung Kota Pamekasan tersebut separuh atapnya sudah bolong. Gedungnya sebagian sudah ada yang roboh dan lantainya yang terbuat dari tegel sudah mengelupas.
Kepala Sekolah SDN Kodik Proppo, Edy Pratsojo, menuturkan, dua tahun yang lalu kondisi sekolahnya sudah sangat memprihatinkan. Namun, siswanya masih dipaksakan untuk tetap belajar. Sebab, sudah tidak ada ruangan lagi yang bisa dipakai.
Akibat angin puyuh yang terjadi di sebagian Desa Kodik beberapa waktu lalu, atap dan plafon tiga kelas tersebut ambruk. "Saat ini dua kelas sudah rusak parah dan tidak bisa ditempati lagi," kata Eko Pratsojo.
Karena keterbatasan ruangan belajar, satu kelas yang kondisinya juga memprihatinkan, siswa kelas III terpaksa harus menempati kelas tersebut. Kelas itu lantainya sudah mengelupas, plafonnya sudah ada yang roboh, dan sebagian ada yang menggelantung.
"Kami sebetulnya khawatir dengan keselamatan siswa. Namun, kami sudah tidak punya pilihan lagi untuk menempati kelas yang lain," kata Eko Pratsojo.
Tidak hanya itu, ketika hujan deras, ruangan kelas banjir. Sebab, lokasi sekolah berada di dataran rendah. Sebanyak 66 Siswa yang ada di sekolah tersebut kini harus belajar dalam satru kelas yang dibagi dua. Kelas I kumpul dengan kelas II, kelas IV kumpul dengan kelas V. Sementara untuk kelas III tinggal di kelas yang rusak tersebut.
"Khusus kelas VI kami beri ruangan khusus. Sebab, mereka sebentar lagi akan menghadapi ujian semester dan ujian nasional," kata Armano Aidi, wali kelas VI.
Sekolah tersebut sudah pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah setempat pada tahun 2009 lalu. Namun, itu hanya cukup untuk membangun tiga kelas saja. Sementara tiga kelas yang ambruk hingga kini masih belum mendapatkan bantuan dari pemerintah. "Kami berharap pemerintah segera bertindak. Kondisi sekolah kami kondisinya sudah sangat memprihatinkan," tutur Eko.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Pamekasan Ahmad Hidayat saat dikonfirmasi melalui Kepala Bidang Pendidikan Dasar TK/SD Syalah Syamlan mengatakan, pihaknya sudah melihat kondisi sekolah tersebut. Namun, karena anggaran pembangunan sudah dialokasikan kepada sekolah yang lain, terpaksa harus menunggu giliran pada tahun 2012. 

Sumber : Kompas.com

Tak Ada Kelas, Mau Sekolah di Mana?

Ilustrasi: Di Jawa Barat saat ini ada 38 persen lulusan SMP dipaksa putus sekolah karena jumlah SMA yang tersedia tidak bisa menampung. 

Pekerjaan rumah sektor pendidikan di Indonesia ternyata masih juga terhambat pada fasilitas-fasilitas mendasar seperti ketersediaan sekolah. Sampai saat ini, banyak lulusan pendidikan dasar yang gagal melanjutkan sekolah karena memang tidak ada kelas yang bisa menampung.
Hal tersebut diungkapkan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan di sela-sela peresmian Pusat Training Huawei dan STEI ITB di Bandung, Senin (11/4/2011). Di Jawa Barat, misalnya, kata Heryawan, saat ini ada 38 persen lulusan SMP dipaksa putus sekolah karena jumlah SMA yang tersedia tidak bisa menampung.
"Saya tidak tahu bagaimana hitung-hitungannya, di mana yang salah sehingga 38 persen lulusan SMP dipaksa tidak sekolah," kata Heryawan.
Itu pun, jelas Heryawan, dengan asumsi semua ruang kelas yang ada diisi penuh 40 siswa. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, pihaknya memperkirakan butuh pembangunan 9.000 kelas baru setiap tahun.
Namun, keterbatasan dana membuat Pemprov Jabar hanya sanggup merencanakan pembangunan 6.000 kelas baru tahun ini. Ia berharap perusahaan swasta bisa turut memenuhi kebutuhan dasar pendidikan tersebut melalui program corporate social responsibility (CSR). Misalnya, kata Heryawan meniru, perusahaan-perusahaan di kawasan bisnis di Bekasi telah berkomitmen menyediakan 1.000 kelas baru tahun ini. 

Sumber : Kompas.com

Potret Kelaparan di Lumbung Pangan


Hani janda miskin asal Kabupaten Pinrang bersama ke tiga anaknya. Potret kemiskinan yang kerap kelaparan meski bermukim di daerah pemasok beras terbesar di Sulawesi Selatan 

Di tengah kesibukan Pemerintah Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan merebut penghargaan bidang kebersihan Adipura dan rencana pembangunan patung hiroik pahlawan Lasinrang,  di Kelurahan Tellumpanua, Kecamatan Suppa, justru ada seorang ibu tanpa suami bernama Hani (40) yang terpinggirkan.
Hani hanya bisa tinggal bersama tiga orang anaknya di rumah berdinding bilah bambu berukuran 2.5x3 meter. Rumah reyot yang di bangun di atas lahan perkebunan warga nyaris belum pernah dikunjungi pihak pemerintahan setempat.  Tak jarang Hani harus menahan lapar bersama tiga anaknya, meski mereka tinggal di daerah berpenghasilan beras terbesar di Sulawesi Selatan.
Kepada Kompas.com, Selasa (12/4/2011), Hani mengaku sudah beberapa kali berpindah lantaran kerap terkena gusur oleh pemilik lahan yang kebetulan di tumpanginya.
Untuk menghidupi ke tiga anaknya, Hani kerap berkeliling dari rumah ke rumah warga, hingga keluar kampung sebagai buruh cuci. "Saya juga bekerja sebagai buruh tani setiap musim panen, diupah Rp 15 ribu per hari. Tapi hanya pada waktu tertentu saja. Lepas itu saya keliling kampung menawarkan jasa sebagai tukang cuci," katanya dengan suara pelan.
Jika kehabisan beras, ia lebih sering menerima bantuan para tetangga. Hani bersama tiga anaknya tak canggung memilih pisang mentah yang direbus, untuk dijadikan makanan pengganjal rasa lapar. "Kadang kalau bertemu pemilik kebun, saya diberi ubi yang bisa saya masak dan makan bersama anak-anak," paparnya lirih.
Subsidi beras bagi warga miskin pun tidak banyak membantu janda miskin ini. Kalaupun mendapat jatah, Hani mengaku lebih sering menjual ke orang lain, dan hasilnya dibelikan beras yang harganya jauh lebih murah.
Keprihatinan Hani semakin menjadi karena sulitnya hidup ikut dirasakan ke tiga anaknya Nasir (12), Fendi (10) dan Ecce (6). Nasir anak ke duanya bahkan harus ikut memikul beban keluarga dengan bekerja sebagai buruh kasar pengangkat karung berisi beras di Bulog Dolangngan, Kabupaten Pinrang.
Dari hasil kerjanya, Nasir mendapat upah Rp 10 ribu per sekali kerja. Hani pun mengaku, anak-anaknya tidak pernah mengenyam bangku pendidikan karena keterbatasan biaya. "Anak tidak kami sekolahkan karena tidak ada biaya. Yang nomor dua terpaksa ikut menghidupi keluarga karena kedua adiknya juga sakit-sakitan," katanya.
Bahkan anak ke tiganya, Fendi, saat ini menderita penyakit usus akut, menyebabkan perutnya membuncit. Meski mendapat perawatan medis gratis, Hani mengaku jarang membawa anaknya berobat karena sulitnya biaya transportasi menuju puskesmas maupun rumah sakit yang jaraknya jauh.
"Kami bersyukur masih ditolong tetangga sekitar, termasuk membantu memberi baju untuk dipakai anak-anak," katanya.

Sumber : Kompas.com