Rabu, 30 Maret 2011

Soal Sekolah Rusak, Kita Keterlaluan....!!!




Salah satu laboratorium di SMPN 273 Kampung Bali, Jakarta Pusat yang rubuh dan kini beratapkan langit, Rabu (26/1/2011).


          Masalah sekolah rusak di jenjang SD dan SMP belum juga terpecahkan. Sebanyak 20,97 persen ruang kelas SD rusak, sedangkan di SMP sekitar 20,06 persen.


          Sampai tahun 2011, ruang kelas SD yang rusak terdata 187.855 ruang dari total 895.761 ruang kelas. Di SMP, ada 39.554 ruang rusak dari 192.029 ruang kelas. Padahal, di era pemerintahan Susilo Bambang

          Yudhoyono-Jusuf Kalla ditargetkan, perbaikan sekolah rusak selesai tahun 2008.
     Jusuf Kalla mengatakan, pemerintah mengurangi proyek pembangunan lain dan meningkatkan pendapatan negara demi membereskan masalah telantarnya siswa akibat ruang kelas ambruk (Kompas, 28/4/2005).

      Pengamat pendidikan, Soedijarto, Selasa (29/3/2011) kemarin di Jakarta, mengatakan, pemerintah seharusnya menuntaskan persoalan mendasar di jenjang pendidikan dasar. Pemerintah berkewajiban memberikan pendidikan anak usia SD-SMP yang berkualitas.

      "Bagaimana kita mau bicara pendidikan dasar bermutu. Sarana dan prasarana mendasar saja belum beres," kata Soedijarto.

       Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR RI pekan lalu mengakui, sekolah rusak masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah yang belum beres. Dana yang dibutuhkan untuk merehabilitasi ruang kelas yang rusak Rp 17,36 triliun.

       Namun, dana alokasi khusus (DAK) tahun ini hanya Rp 10 triliun. Alokasi DAK itu pun tak bisa digunakan untuk merehabilitasi. Pemerintah daerah penerima DAK memakainya untuk membangun perpustakaan dan pengadaan sarana peningkatan mutu.

       Di DKI Jakarta, tahun ini tercatat 346 ruang kelas rusak. Ferdiansyah, anggota Komisi X DPR, mempertanyakan tanggung jawab pemerintah untuk menuntaskan hal-hal mendasar dalam pendidikan dasar, apalagi anggaran pendidikan nasional diklaim terus meningkat.

 Sumber : Kompas Cetak

Makin Banyak Remaja Mati Muda... Kenapa...??





             Kasus kematian di kalangan usia remaja ternyata menunjukkan tren peningkatan akhir-akhir ini. Sebuah laporan global menyebutkan, kematian dini cenderung lebih banyak terjadi di kalangan remaja dan dewasa muda dibandingkan anak-anak.


            Riset yang dipublikasikan jurnal kesehatan The Lancet, yang mengoleksi data dari 50 negara—baik negara level kaya, menengah maupun miskin—selama kurun 50 tahun terakhir menunjukkan, angka mortalitas atau kematian secara umum mengalami penurunan. Tetapi, kasus kematian pada usia remaja tampak lebih menonjol dibanding anak-anak. Faktor-faktor seperti kekerasan, bunuh diri, dan kecelakaan lalu lintas diyakini sebagai penyebab utama.

Penyakit infeksi turun
       Riset juga menyebutkan bahwa rata-rata mortalitas di kalangan usia belia mengalami penurunan secara dramatis dalam kurun 50 tahun terakhir di seluruh dunia. Mortalitas pada anak-anak berusia 1-9 tahun menurun 80 persen sampai 93 persen. Hal ini dipicu oleh berkurangnya angka kematian akibat penyakit menular.

     Sementara itu, rata-rata mortalitas tak menunjukkan penurunan yang cepat di kalangan remaja dan dewasa muda. Pada remaja usia 15-24, mortalitas menurun 41 persen hingga 48 persen, lagi-lagi karena keberhasilan menekan penyakit infeksi.

     Namun, cedera, kekerasan, bunuh diri, dan kecelakaan lalu lintas muncul sebagai pembunuh utama remaja pria di seluruh negara, dan menjadi pembunuh utama perempuan muda di negara-negara kaya dan kawasan Eropa barat. Kematian akibat kekerasan juga menunjukkan peningkatan secara nyata, baik pada remaja pria maupun wanita.

      Hal ini berarti, meski secara keseluruhan mortalitas sudah menunjukkan penurunan, tetapi risiko kematian tertinggi kini telah bergeser dari anak-anak kepada remaja dan dewasa muda. Para peneliti mengklaim, pria remaja berusia 15-24 kini berisiko dua hingga tiga kali lipat mengalami kematian prematur ketimbang anak-anak berusia 1-4 tahun.

       "Gaya hidup modern lebih meracuni remaja dan orang muda. Kecelakaan lalu lintas terus meningkat, demikian pula dengan kekerasan dan bunuh diri yang kami lihat tak terjadi pada anak-anak. Anggapan bahwa masa muda merupakan masa paling sehat dari hidup kita tidak lagi benar adanya," kata penulis riset Dr Russell Viner dari University College London, Inggris.

        Walaupun begitu, peneliti menegaskan bahwa riset ini mungkin belum dapat menggambarkan kondisi secara umum di seluruh dunia. Pasalnya, penelitian ini tidak melibatkan negara-negara paling miskin di sub-Sahara Afrika mengingat tidak adanya data.
Selain itu, faktor variasi regional juga ikut memengaruhi. Peneliti mencatat peningkatan kasus bunuh diri yang terjadi di negara-negara era pascakomunis pada tahun 1990-an. Padahal, rata-rata kasus bunuh diri mulai menurun di negara-negara kaya dalam beberapa tahun terakhir.
Namun, Dr Viner mengatakan, tren yang awalnya tampak di negara-negara Barat kini sudah mulai terlihat di negara-negara berkembang, ketika urbanisasi membawa manfaat dan risiko bagi kalangan remaja.

        "Tampaknya pembangunan ekonomi, perpindahan menuju kota, meningkatkan urbanisasi, dan dislokasi sosial yang sebenarnya cukup meracuni para remaja dalam hal mortalitas," ujarnya.

Sumber : BBC

TKI Jember Tewas di Malaysia, Lagi..Lagi....

Kecelakaan Kerja
 
      Kismantio (28), tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Dusun Pucukan, Desa Sidmulyo, Kecamatan Semboro, Kabupaten Jember, Jawa Timur, tewas di tempat kerjanya di Malaysia.
 
         Jenazah Kismantio tiba di rumah duka, Rabu (30/3/2011) sekitar pukul 01.00 WIB, disambut isak tangis keluarga yang sudah berkumpul sejak beberapa jam sebelumnya.

          Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Jember Ahmad Mufti mengatakan, Kismantio meninggal dunia pada Minggu (27/3/2011) lalu karena kecelakaan kerja di Malaysia.

         "TKI asal Desa Sidomulyo itu bekerja sebagai buruh bangunan di salah satu kontraktor di Malaysia, dan diduga meninggal dunia karena terjatuh saat yang bersangkutan bekerja," tuturnya.

         Kismantio berangkat ke Malaysia sekitar bulan Maret 2010, dengan proses penempatan mandiri atau perorangan sehingga tanpa melalui Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS).
      
         "Almarhum Kismantio berangkat ke Malaysia sendiri, setelah dihubungi oleh saudara sepupunya yang sudah bekerja lama di Malaysia," ucap aktivis buruh migran itu.
         
          Sesuai dengan aturan, lanjut dia, majikan yang mempekerjakan almarhum harus membayar gajinya selama yang bersangkutan bekerja dan seluruh barang milik korban kecelakaan kerja itu harus disampaikan kepada keluarga korban.

           "Sisa gaji yang belum terbayar harus diberikan kepada pihak keluarga korban. Biasanya TKI yang bekerja di luar negeri juga mendapat asuransi, apabila yang bersangkutan meninggal dunia," ujarnya menambahkan.
 
             Jenazah buruh migran Kismantio rencananya dimakamkan hari ini di tempat pemakaman umum (TPU) desa setempat. Almarhum meninggalkan seorang istri bernama Siti Kasiah dan seorang anak yang berusia tujuh tahun. 

Sumber: Kompas.Com