Senin, 11 April 2011

Benteng Penyu di Makassar







Bila berada di ketinggian, maka Fort Rotterdam akan terlihat jelas berbentuk penyu. Bisa dibayangkan, saat benteng ini masih berfungsi, dari ujung kepala penyu mata melihat langsung ke lautan lepas. Fort Rotterdam memang berada di bibir pantai. Luasnya sampai tiga hektar. Tak heran, benteng tersebut menjadi ikon dari Kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Pengunjung bisa menelusuri benteng tersebut dengan berjalan di titian pada pinggiran benteng. Perlu sekitar 30 menit untuk mengelilingi benteng itu. Dulu, para tentara Belanda berjaga-jaga di titian. Para pasukan pun berkumpul di kepala dan tangan penyu lengkap dengan persenjataan, siap menghadapi serangan musuh dari laut. Walaupun namanya Fort Rotterdam, tapi jangan salah sangka. Benteng tersebut mulanya bernama Benteng Ujung Pandang. Ya, Kerajaan Gowa yang membuat benteng tersebut bukan Belanda. Sekitar tahun 1620, Raja Gowa membangun ulang benteng tersebut dengan batu padas. Sebelumnya, benteng tersebut dibangun dengan tanah liat.
Semua bermula dari tokoh terkenal dari sejarah kolonial Belanda, seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda bernama Cornelis Speelman. Pada tahun 1667, Pelabuhan Ujung Pandang berhasil ia kuasai demi kepentingan monopoli rempah-rempah. VOC ingin menyingkirkan bangsa Portugis dan Inggris dari peta perdagangan rempah-rempah di kawasan timur Nusantara.
Pahlawan nasional Sultan Hasanuddin pada tahun 1667 menandatangi perjanjian Bongaya dengan VOC. Perjanjian yang mengambarkan kekalahan Kerajaan Gowa. Hasilnya, sebagian besar benteng Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan pun dihancurkan Belanda. Belanda hanya menyisakan Benteng Sombaopu. Sementara itu, Benteng Ujung Pandang harus diserahkan ke Belanda.
Speelman membangun ulang Benteng Ujung Pandang dan mengganti namanya menjadi Fort Rotterdam. Fort Rotterdam adalah nama tempat kelahirannya di Belanda. Sarif, penjaga Museum Negeri La Galigo, mengatakan, Speelman membangun kembali benteng tersebut dengan konsep membentuk peradaban Eropa di bumi Makassar.
"Saat dibangun kembali, Speelman memakai gaya arsitektur gotik seperti di kampung halamannya. Di dalam benteng terdapat beberapa gedung," jelas Sarif.
Gedung-gedung tersebut memiliki fungsi yang berbeda-beda. Mulai dari kediaman gubernur VOC, Gereja Protestan, rumah sakit, asrama tentara, gudang rempah, perpustakaan, sampai kantor wali kota.
Fort Rotterdam pada masa kejayaannya ibarat kota kecil nuansa Eropa di tanah pribumi. Salah satu gedung yang unik adalah gudang rempah. Safir menceritakan, VOC sampai memerintahkan beberapa tentara untuk menjaga gudang selama 24 jam. Sedangkan di perpustakaan berfungsi juga sebagai sekolah.
"Anak-anak raja direkrut Belanda untuk belajar sejarah, budaya, dan pengobatan. Salah satu pengajarnya adalah ahli sejarah dari Inggris," cerita Safir.
Si ahli sejarah tersebut mengumpulkan teks legendaris La Galigo berupa daun lontar 600 halaman dan menerjemahkannya ke bahasa Belanda. Safir menceritakan, beberapa orang terus mencari La Galigo, salah satunya adalah Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Hindia Belanda tahun 1811. Ternyata La Galigo mencapai 1.000 halaman.
"La Galigo merupakan teks puisi berupa epos dari Sawerigading. Salah satu kisahnya adalah Sawerigading yang merantau sampai ke negeri China. La Galigo tulis dalam bahasa Bugis dan terdapat tiga unsur, yaitu linguistik, politik, dan cinta. Ini karya epos terpanjang di dunia, mengalahkan epos Mahabrata," jelasnya. Karena keunikannya ini, La Galigo masuk dalam World Heritage UNESCO di tahun 2006.
Di area Fort Rotterdam terdapat Museum La Galigo yang tidak hanya mengisahkan La Galigo, tapi juga sejarah dan budaya masyarakat Sulawesi Selatan serta sejarah perkembangan Fort Rotterdam. Kini, pemerintah tengah merevitalisasi benteng tersebut.
Pemerintah daerah dan pemerintah pusat menginginkan benteng tersebut berkondisi sama seperti pada masa kejayaannya. Salah satunya adalah dengan pembuatan parit yang mengelilingi benteng seperti dahulu kala. Selain itu, ada pula bangunan di luar benteng yang dihancurkan. Uniknya, kawasan benteng ini termasuk tempat bersejarah yang hidup hingga kini. Di akhir pekan, banyak komunitas yang melakukan kegiatan di benteng ini. 

Sumber : Kompas.Com

Tahun 2500 Bumi Tak Layak Huni



Pemanasan global, selain menyebabkan perubahan iklim, juga menaikkan suhu bumi rata-rata 0,2 derajat celsius per 10 tahun atau 2 derajat celsius dalam 100 tahun. Kenaikan suhu sebesar itu menyebabkan kenaikan permukaan air laut setinggi 20 sentimeter. Demikian diungkap Kepala Pusat Studi Energi (PSE) UGM, Prof Dr Jumina, di kantor PSE UGM, Sekip Yogyakarta, Senin (11/4/2011).
Lebih lanjut, Jumina mengatakan, tanpa ada upaya serius dan sistematis untuk mengurangi emisi gas rumah kaca seperti karbon dioksida (CO2) ke atmosfer bumi, suhu rata-rata permukaan bumi yang pada tahun 2010 berada pada kisaran 14,6 derajat celsius akan naik menjadi sekitar 25 derajat celsius pada tahun 2500.
"Artinya, bumi tak akan lagi menjadi tempat hunian yang nyaman bagi manusia, hewan, maupun tumbuhan. Bahkan sangat mungkin manusia tak akan dapat bertahan hidup pada kondisi seperti itu," tutur Jumina.
Terjadinya peningkatan emisi CO2 secara terus-menerus itulah yang menyebabkan para pakar lingkungan merasa sangat prihatin. Usaha untuk mengurangi emisi CO2 pun dilakukan, antara lain melalui penandatanganan Protokol Kyoto pada 1999. Sayang, Amerika Serikat sebagai penyumbang emisi CO2 terbesar kedua di dunia hingga saat ini belum bersedia menandatangani protokol tersebut.
"Begitu pula China yang merupakan penghasil emisi CO2 terbesar di dunia," ungkapnya kemudian.
Data menunjukkan, sumbangan sektor energi terhadap emisi CO2 dan fenomena pemanasan global sangat besar. Dengan demikian, demi mengurangi tingkat emisi CO2 domestik dan menekan laju terjadinya pemanasan global, maka penerapan konsep energi bersih sangat diperlukan. "Energi bersih bisa diartikan sebagai energi ramah lingkungan, atau energi yang tidak menimbulkan pencemaran lingkungan," jelas Jumina.
Bila Indonesia dapat menerapkan konsep energi bersih, maka sistem energi yang dibangun bukan hanya menghasilkan ketahanan energi dalam arti terjadi keseimbangan antara kebutuhan dan pasokan energi nasional, tapi juga dapat mewujudkan terciptanya lingkungan yang sehat, nyaman, dan lestari. "Sehingga sistem energi yang diterapkan akan bervisi jauh ke depan tanpa harus merampas hak dasar generasi penerus," kata Jumina.
Kenyataan, pengembangan teknologi energi bersih dan ramah lingkungan di Indonesia belum memuaskan. Keterbatasan kemampuan SDM merupakan faktor utama. Untuk itu, PSE UGM bekerja sama dengan Sekolah Pascasarjana UGM menggelar seminar sehari "Pengembangan Sumberdaya Manusia Bidang Energi Bersih Menuju Ketahanan Energi Nasional", di gedung Pascasarjana UGM, Selasa (12/4/2011).
Seminar menampilkan beberapa narasumber, antara lain anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Dr Ir Tumiran MEng; Direktur Energi, Telekomunikasi, dan Informatika Bappenas Ir Jadhie J Ardajat MSi; Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Dr Ing Evita Legowo; Direktur Energi Primer PLN Ir Nur Pamudji MEng; Kepala Badan Pengkajian Iklim dan Mutu Industri Kementerian Perindustrian Ir Arryanto Sagala; serta Dirjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Ir Luluk Sumiarso MSc. 

Sumber : Kompas.Com