Selasa, 12 April 2011

Potret Kelaparan di Lumbung Pangan


Hani janda miskin asal Kabupaten Pinrang bersama ke tiga anaknya. Potret kemiskinan yang kerap kelaparan meski bermukim di daerah pemasok beras terbesar di Sulawesi Selatan 

Di tengah kesibukan Pemerintah Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan merebut penghargaan bidang kebersihan Adipura dan rencana pembangunan patung hiroik pahlawan Lasinrang,  di Kelurahan Tellumpanua, Kecamatan Suppa, justru ada seorang ibu tanpa suami bernama Hani (40) yang terpinggirkan.
Hani hanya bisa tinggal bersama tiga orang anaknya di rumah berdinding bilah bambu berukuran 2.5x3 meter. Rumah reyot yang di bangun di atas lahan perkebunan warga nyaris belum pernah dikunjungi pihak pemerintahan setempat.  Tak jarang Hani harus menahan lapar bersama tiga anaknya, meski mereka tinggal di daerah berpenghasilan beras terbesar di Sulawesi Selatan.
Kepada Kompas.com, Selasa (12/4/2011), Hani mengaku sudah beberapa kali berpindah lantaran kerap terkena gusur oleh pemilik lahan yang kebetulan di tumpanginya.
Untuk menghidupi ke tiga anaknya, Hani kerap berkeliling dari rumah ke rumah warga, hingga keluar kampung sebagai buruh cuci. "Saya juga bekerja sebagai buruh tani setiap musim panen, diupah Rp 15 ribu per hari. Tapi hanya pada waktu tertentu saja. Lepas itu saya keliling kampung menawarkan jasa sebagai tukang cuci," katanya dengan suara pelan.
Jika kehabisan beras, ia lebih sering menerima bantuan para tetangga. Hani bersama tiga anaknya tak canggung memilih pisang mentah yang direbus, untuk dijadikan makanan pengganjal rasa lapar. "Kadang kalau bertemu pemilik kebun, saya diberi ubi yang bisa saya masak dan makan bersama anak-anak," paparnya lirih.
Subsidi beras bagi warga miskin pun tidak banyak membantu janda miskin ini. Kalaupun mendapat jatah, Hani mengaku lebih sering menjual ke orang lain, dan hasilnya dibelikan beras yang harganya jauh lebih murah.
Keprihatinan Hani semakin menjadi karena sulitnya hidup ikut dirasakan ke tiga anaknya Nasir (12), Fendi (10) dan Ecce (6). Nasir anak ke duanya bahkan harus ikut memikul beban keluarga dengan bekerja sebagai buruh kasar pengangkat karung berisi beras di Bulog Dolangngan, Kabupaten Pinrang.
Dari hasil kerjanya, Nasir mendapat upah Rp 10 ribu per sekali kerja. Hani pun mengaku, anak-anaknya tidak pernah mengenyam bangku pendidikan karena keterbatasan biaya. "Anak tidak kami sekolahkan karena tidak ada biaya. Yang nomor dua terpaksa ikut menghidupi keluarga karena kedua adiknya juga sakit-sakitan," katanya.
Bahkan anak ke tiganya, Fendi, saat ini menderita penyakit usus akut, menyebabkan perutnya membuncit. Meski mendapat perawatan medis gratis, Hani mengaku jarang membawa anaknya berobat karena sulitnya biaya transportasi menuju puskesmas maupun rumah sakit yang jaraknya jauh.
"Kami bersyukur masih ditolong tetangga sekitar, termasuk membantu memberi baju untuk dipakai anak-anak," katanya.

Sumber : Kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar