Persatuan Emirat Arab (PEA) merupakan salah satu negara tujuan pengiriman TKI yang cukup banyak diminati oleh para pencari kerja di sektor formal maupun informal. Iming-iming gaji yang cukup menggiurkan cukup menjadi magnet bagi para pencari kerja asal Indonesia untuk bekerja di PEA. Mereka yang bekerja di sektor informal digaji rata-rata sekitar 600-700 dirham per bulan, sedangkan yang bekerja di sektor formal bisa memperoleh gaji 20 kali lipatnya, atau sekitar Rp40 juta lebih per bulannya.
Di Abu Dhabi sendiri, menurut Dubes RI untuk PEA, M. Wahid Supriyadi, tercatat sekitar 25.000 orang WNI yang menetap di Abu Dhabi. Kebanyakan dari mereka adalah TKI yang bekerja di sektor informal. Sebagaimana yang terjadi di negara tujuan pengiriman tenaga kerja sektor informal di Teluk Arab lainnya semacam Arab Saudi, TKI di PEA khususnya di Abu Dhabi kabur dari majikan dengan berbagai alasan. Mulai dari gaji yang tidak dibayarkan, kekerasan fisik, hingga majikan yang cerewet. Ironisnya, alasan terakhir cukup banyak dialami oleh para TKI perempuan (TKW) yang bekerja sebagai Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT).
“Sekitar 27,83% TKW kabur karena majikannya cerewet. Itu karena mereka kurang memahami kultur masyarakat setempat. Masyarakat Arab pada umumnya jika berbicara memang keras, karena kultur mereka yang hidup di gurun memang membentuk karakter masyarakat seperti itu. Hal ini yang kurang dipersiapkan kepada para TKW yang akan bekerja di negara-negara Arab,” jelas Dubes Wahid.
Dubes juga menambahkan bahwa tidak semua masalah yang masuk ke KBRI merupakan kasus TKI yang bekerja di PEA. Kemudahan dalam memperoleh visa on arrival di negara-negara Teluk lainnya seperti Oman dan Yordania memudahkan masuknya orang tanpa terseleksi. Ditengarai telah terjadi human trafficking di kawasan Teluk yang membuat Abu Dhabi dan Dubai menjadi transit bagi aktivitas penyelundupan tenaga kerja ke negara-negara non-tujuan pengiriman TKI.
Namun demikian KBRI merasa sangat terbantu dengan sistem manajemen dan administrasi pemerintahan PEA yang sangat terintegrasi dengan baik sehingga memudahkan pencarian data korban TKI yang mengalami masalah, mengingat TKI di sektor informal tidak dilindungi oleh UU Tenaga Kerja yang diberlakukan oleh pemerintah setempat.
Pengaturan mengenai keberadaan TKI informal di PEA diatur oleh Kementerian Dalam Negeri sehingga tidak ada pengaturan mengenai sistem penggajian, tunjangan kesehatan, dan sebagainya secara khusus yang dapat dipantau pemerintah setempat sebagaimana bagi TKI di sektor formal.
Tak jarang, upaya pendekatan dengan pemerintah setempat pun dilakukan sebagai salah satu upaya penyelesaian masalah, sehingga dari 800 kasus yang pernah masuk ke KBRI, sekitar 93% dapat diselesaikan dengan baik. Namun toh, prestasi ini tidak serta merta mendapat apresiasi masyarakat yang dengan mudahnya menuntut KBRI untuk proaktif.
“Saya kira tuntutan untuk proaktif mendatangi rumah-rumah majikan guna memantau keberadaan para TKI itu naif. Bagaimana caranya kita melakukan pemantauan di rumah majikan yang tertutup rapat. Hukum di PEA menjamin pemilik rumah untuk melindungi rumahnya dari campur tangan pihak luar. Polisi sekalipun tanpa surat perintah yang didasarkan pada alasan hukum yang kuat tidak diijinkan masuk, apalagi kita yang tidak memiliki kewenangan serupa,” jelas Dubes Wahid.
Ditambahkannya pula bahwa yang penting KBRI selalu menindaklanjuti setiap pengaduan para TKI dan berupaya menyelesaikannya dengan baik.
Dalam wawancara hampir satu jam di Wisma Indonesia, Dubes Wahid juga menyampaikan bahwa sudah saatnya Indonesia mempertimbangkan untuk mengirim tenaga semi-terampil sehingga memperluas kesempatan kerja bagi masyarakat Indonesia. Banyak sekali kesempatan yang dapat dimanfaatkan oleh para pencari kerja untuk mengisi lowongan seperti tenaga sekuriti, perawat, pelayan restoran, dan sebagainya yang secara khusus telah diatur dalam UU ketenagakerjaan di PEA. Pemda Sragen telah mulai memanfaatkan peluang ini dengan mengirimkan sejumlah tenaga sekuriti ke PEA.
Apalagi dalam waktu dekat negeri para emir itu akan mengesahkan UU baru yang membatasi jumlah tenaga kerja yang berasal dari sebuah negara hingga maksimal 25% dari keseluruhan tenaga kerja dalam sebuah perusahaan.
“Peluang ini perlu kita manfaatkan sebaik-baiknya. Kita perlu segera menyiapkan tenaga semi-terampil dari Indonesia guna mengantisipasi kekosongan lapangan kerja yang ditinggalkan oleh orang India, Pakistan, dan Bangladesh. Kita perlu tunjukkan bahwa Indonesia tidak hanya mampu mengekspor tenaga kerja di sektor informal, namun juga tenaga kerja terampil dan semi-terampil yang patut diperhitungkan,” tutupnya. (sumber: Dit. Infomed/Etty)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar