Peningkatan anggaran sebesar 20 persen untuk sektor pendidikan dinilai belum bisa memperbaiki kualitas pendidikan terutama yang mengarah pada perbaikan moral.
Penilaian itu dikemukakan Funco Tanipu, Sosiolog dari Fakultas Ilmu Sosial di Universitas Negeri Gorontalo (UNG), Sabtu.
"Anggaran sebesar apapun, tidak akan signifikan memperbaiki pendidikan, selama ukuran yang digunakan masih bersifat kuantitatif," kata dia.
Ukuran tersebut, misalnya, hanya didasarkan pada seberapa banyak sekolah yang dibangun, berapa laboratorium yang didirikan, berapa jumlah guru yang telah di sertifikasi atau disarjanakan, atau berapa dana Bantuan Operasional Sekolah yang dikucurkan.
Funco mengemukakan, jarang ukuran kualitasw pendidikan dilihat dari jumlah murid yang telah berhasil melakukan kejujuran di lingkungannya, atau jumlah murid yang berani mengingatkan orang tuanya agar menghindari korupsi atau hidup bermewah mewahan .
Menurut Funco, pendidikan di Indonesia hanya berhenti pada dimensi formalitas belaka dengan bahasa lain, asal sudah mendapatkan nilai bagus maka sudah dianggap berkualitas.
"Pada level yang lain, korupsi, plagiat, manipulasi, radikalisasi adalah efek dari kesemuanya. Jadi, kualitas pendidikan kita mengalami erosi luar biasa, berjalan minus kejujuraan," kata dia.
Dia juga melontarkan kritik pada negara, yang telah menjadikan instrumen ujian nasional sebagai akhir penilaian sukses tidaknya pendidikan di sebuah sekolah.
Padahal, menurutnya, nilai Ujian Nasional digenjot negara, hanya karena mau mengikuti logika pasar.
Pasar berdalih sekaligus berkuasa, bahwa jika mau memenuhi kriteria yang diinginkannya, maka Ujian Nasional harus mengikuti standar yang telah ditetapkan.
"Dalih ini kan dalih positivistik, bukan dalih humanistik, anak didik kita dipaksa mengikuti ritual tahunan untuk memenuhi selera pasar," katanya.
Penilaian itu dikemukakan Funco Tanipu, Sosiolog dari Fakultas Ilmu Sosial di Universitas Negeri Gorontalo (UNG), Sabtu.
"Anggaran sebesar apapun, tidak akan signifikan memperbaiki pendidikan, selama ukuran yang digunakan masih bersifat kuantitatif," kata dia.
Ukuran tersebut, misalnya, hanya didasarkan pada seberapa banyak sekolah yang dibangun, berapa laboratorium yang didirikan, berapa jumlah guru yang telah di sertifikasi atau disarjanakan, atau berapa dana Bantuan Operasional Sekolah yang dikucurkan.
Funco mengemukakan, jarang ukuran kualitasw pendidikan dilihat dari jumlah murid yang telah berhasil melakukan kejujuran di lingkungannya, atau jumlah murid yang berani mengingatkan orang tuanya agar menghindari korupsi atau hidup bermewah mewahan .
Menurut Funco, pendidikan di Indonesia hanya berhenti pada dimensi formalitas belaka dengan bahasa lain, asal sudah mendapatkan nilai bagus maka sudah dianggap berkualitas.
"Pada level yang lain, korupsi, plagiat, manipulasi, radikalisasi adalah efek dari kesemuanya. Jadi, kualitas pendidikan kita mengalami erosi luar biasa, berjalan minus kejujuraan," kata dia.
Dia juga melontarkan kritik pada negara, yang telah menjadikan instrumen ujian nasional sebagai akhir penilaian sukses tidaknya pendidikan di sebuah sekolah.
Padahal, menurutnya, nilai Ujian Nasional digenjot negara, hanya karena mau mengikuti logika pasar.
Pasar berdalih sekaligus berkuasa, bahwa jika mau memenuhi kriteria yang diinginkannya, maka Ujian Nasional harus mengikuti standar yang telah ditetapkan.
"Dalih ini kan dalih positivistik, bukan dalih humanistik, anak didik kita dipaksa mengikuti ritual tahunan untuk memenuhi selera pasar," katanya.
Sumber : Antaranews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar