Kamis, 21 April 2011

Pemberdayaan, Esensi Perjuangan Perempuan


Esensi perjuangan perempuan adalah pemberdayaan. Kartini salah satu teladannya. Bicara Kartini, perempuan dari Jepara ini memilih pendidikan berbasis pengetahuan sebagai cara mencerdaskan kaum hawa di masanya. Perayaan Hari Kartini pada 21 April perlu dilihat sebagai refleksi bagaimana perempuan saling mencerdaskan dan memberdayakan.

Kartini hidup di masanya, beraksi dengan caranya. Banyak perempuan yang juga punya semangat Kartini. Pilihan cara boleh berbeda, namun cita-cita sama, perempuan berhak mendapat akses membangun dirinya, sekaligus menjalani multiperan. Kartini sudah menyontohkan bagaimana perempuan sanggup menjalani peran sebagai istri, ibu, dan mengembangkan dirinya sendiri.
Belasan hingga ratusan tahun setelah era Kartini, tumbuh perempuan tangguh di Indonesia. Dari rakyat jelata hingga tokoh ternama punya kisah berbeda namun bernilai sama, memberdayakan diri sebagai perempuan.

Di Semarang, pada 1913 hadir sosok perempuan Lauw Ping Nio, entrepreneur muda yang memulai bisnis minuman herbal di usia 18. Perempuan muda kelahiran 18 Agustus 1895 ini memiliki keberanian melakukan hal berbeda dari kebanyakan perempuan di jamannya. Mirip seperti Kartini yang diam-diam memberontak atas nilai kebudayaan feodal Jawa. Bedanya, Lauw Ping Nio bergerak dengan caranya, melalui keterampilannya meramu obat-obatan tradisional.

"Ibu Meneer adalah perempuan yang sangat menyintai keluarga. Hobinya adalah memasak dengan daun laos, sereh, dan salam. Saat ada keluarga sakit, beliau terpikir untuk membantu dan mencari cara bagaimana mengobati sakit secara alami. Saat itu jaman perang, dan harga obat sangat mahal. Berawal dari keinginan mengobati keluarga, Ibu Meneer meramu obat herbal. Selain mengobati keluarga, beliau juga mulai memberikan bantuan cuma-cuma kepada tetangga yang membutuhkan atau sedang sakit. Lama-kelamaan obat tradisional yang diproduksi dicari masyarakat. Karena tidak bisa keluar rumah untuk berjualan, Ibu Meneer mengirimkan produknya melalui anak-anaknya. Untuk memastikan produk tersebut berasal darinya, dibuatlah foto ibu Meneer. Foto ini sebagai perlambang bahwa produk yang dikirimkan anak-anaknya adalah benar berasal darinya. Hingga kini, foto Nyonya Meneer menjadi trademark di setiap produknya," jelas Charles Saerang, cucu, generasi ketiga Nyonya Meneer kepada Kompas Female, Rabu (20/4/2011).

Pada 1919, Lauw Ping Nio resmi mendirikan perusahaan jamu dengan merek Nyonya Meneer. Sejak awal mendirikan perusahaan jamu, Nyonya Meneer memedulikan nasib perempuan. "Perempuan yang bekerja di perusahaan harus mendapatkan cuti haid, ibu Meneer begitu memikirkan perempuan, susahnya menjadi perempuan," lanjut Charles.

Nyonya Meneer juga mendorong perempuan di zamannya untuk bekerja, jangan hanya berdiam di rumah. Perempuan harus seimbang dengan laki-laki, prinsip ini juga lah yang diterapkannya kepada anak perempuannya. "Pada jaman itu kebanyakan masyarakat sulit untuk menerima prinsip bahwa perempuan tidak boleh kalah dari laki-laki. Namun prinsip ini sudah didorong oleh ibu Meneer," jelasnya.

Hingga kini, perusahaan jamu Nyonya Meneer memiliki karyawan yang 90 persennya adalah perempuan. Pola pikir Nyona Meneer kental terasa hingga kini, aku Charles. "Pemikirannya bahwa perempuan harus diberi peluang menjadi pemimpin masih terasa hingga kini," tambahnya.
Posisi penting di perusahaan jamu Nyonya Meneer dipegang oleh perempuan profesional, bukan berasal dari keluarga semata. "Pantang menyerah, disiplin, motivasi, perempuan berhak setara mendapat kesempatan yang sama, adalah prinsip yang terus-menerus didorong ibu Meneer sejak awal mendirikan perusahaan," tandasnya.

Jika Nyonya Meneer memiliki misi memberdayakan perempuan, lain lagi dengan kisah Mujena (88), penjahit celana anak di kawasan Cipadu, Tangerang, Banten. Di usia lanjut, Mujena masih menjahit celana anak dengan mesin sederhana. Perempuan yang pernah hidup dalam ketakutan di zaman penjajahan Jepang ini tak ingin berhenti menjahit. Ia ingin berdaya atas dirinya meski usia semakin senja.

"Apa enaknya berdiam diri. Saya masih kuat menjahit. Saya juga masih ingin memberikan uang kepada cucu yang datang menjenguk," kata perempuan yang masih terlihat segar ini saat ditemui di kediamannya.
Mujena membeli bahan dari pengumpul di dekat tempat tinggalnya. Ia lalu menjahit lusinan celana dengan potongan pola dan paduan warna tanpa dikejar setoran. Mujena memiliki pelanggan setia yang selalu datang ke rumah sederhananya untuk membeli beberapa potong celana anak. Kegiatan menjahit sudah dilakukan Mujena puluhan tahun. Keterampilan inilah yang membuatnya berdaya sebagai perempuan. Setidaknya, di usia senja, istri dari mendiang guru mengaji ini tidak menggantungkan hidupnya pada orang lain. Mujena adalah satu dari contoh sederhana perempuan di perbatasan kota Jakarta. Perempuan yang berdaya atas dirinya.

Di sekeliling Anda tentu banyak "Kartini" yang memiliki semangat memberdayakan diri dan orang lain. Perempuan nyatanya memang memiliki potensi pemberdayaan ini. Mengutip pakar pemasaran Hermawan Kartajaya, perempuan itu WOMEN. WOMEN diartikan sebagai wellbeing, optimisme, multitasking, entrepreneur, dan networker. Karakter WOMEN inilah yang ada dalam diri perempuan dan mencerdaskannya, serta membuatnya berdaya untuk diri dan orang lain, seperti halnya Kartini. Anda, juga punya potensi dan memiliki kekuatan seperti Kartini untuk melakukan perubahan, mencerdaskan diri sendiri dan perempuan lain.

Sumber : Kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar